Jumat, 01 Februari 2008

Daoed Joesoef: Mengapa Menulis
Oleh Siti Nurrofiqoh

Pagi itu, beberapa orang terlihat di serambi SD Kupu-kupu di Kemang. Dua orang tua menyalami para tamu yang baru tiba. Si isteri berusia 77 tahun. Suaminya, berusia sekitar 83 tahun. Mereka adalah pasangan Daoed Joesoef dan Soelastri. Ini kali kedua, kursus narasi Yayasan Pantau, mengunjungi rumahnya. Daoed Joesoef menjadi guest speaker kursus narasi angkatan ketiga.

Dua staf Pantau, Siti Nurrofiqoh dan Rina Erayanti, beserta 11 peserta hadir disana: Diana Nugroho, Nadia Mars, Tiurlan Sitompul, Noorman Ilyas, Indarti Mora Harahap, Laksita Wijayanti, Leila Mona Ganiem, Henrykus Sihombing, Mutiara Pasaribu, Sari Peni Nurulyati dan Zamira Eliana Loebis.

Rumah keluarga Joesoef, luasnya lebih dari 6,000 meter, juga dipakai untuk bangunan SD Kupu-kupu. Rumah tinggal mereka hanya dibatasi sebuah jalan, selebar dua meter. Hamparan rumput, beraneka jenis pohon serta warna-warni bunga tumbuh di halaman ini. Tak jauh dari rumah mereka.

Pukul 10:00, sesi dimulai dengan perkenalan. Andreas Harsono, instruktur kursus ini, memberi penjelasan singkat kepada pasangan Joesoef mengenai tujuan mereka datang. Andreas mengatakan para peserta sudah membaca buku berjudul “Emak” dan “Dia dan Aku”, termasuk dua paper yang belakangan diberikan Joesoef.

“Ya Andreas…” kata Joesoef, begitu Andreas menyudahi kalimatnya.

“Saudara sekalian, selamat datang di property kami, ini luasnya 8500 meter. Saya perlu menjelaskan ini karena mengingat kecenderungan yang tidak saya senangi sekarang. Ini tanah kami beli tahun 1958. Saat saya sebagai dosen muda di UI (Universitas Indonesia). Waktu itu ibu juga dosen di fakultas hukum, sedangkan saya di fakultas ekonomi, hukum ekonomi moneter. Jadi, sebelum menjadi menteri, saya sudah memiliki rumah, tanah dan mobil,” kata Joesoef mengawali acara resminya dengan memberitahukan soal rumah dan pekarangan yang sudah didiami semenjak tahun 1971.

Di salah satu sisi serambi sekolahan itulah, para peserta melewatkan sesi dengan Daoed Joesoef. Budi Setiyono pengampu tetap kursus ini juga hadir di sana.

Berada di ruangan itu serasa menemukan suasana villa. Ruangan yang hanya berlapis kain strimin, memberi keleluasaan udara keluar masuk membawa aroma dedaunan. Joesoef menyebut tempat itu sebagai bayangan dari eden, atau taman surgawi, sambil tak lupa mengatakan bahwa itu hasil kerja Soelastri, istrinya yang turut mendampingi Joesoef saat itu.

Cuplikan tentang masa lalu ketika ia menjadi menteri di era orde baru menjadi bagian awal cerita Joesoef, termasuk penyebutan beberapa nama orang-orang penting pemerintahan. Misalnya Adang Dorojatun (Wakil kepolisian RI) yang pernah menjadi asistennya. Edi Sasono (Mantan menteri koperasi) dan Aliwardana yang pernah menjadi wakilnya, hingga Jusuf Kalla yang dikenalnya sebagai mahasiswa ketika ia menjadi dosen terbang. Sisi suka duka juga ia ceritakan, saat ia sempat merasa was-was ketika jadwal kepulangan dari Makassar harus ditunda karena bandara dibom. Padahal pada saat itu ia harus melangsungkan pernikahan. Dalam ketidakberdayaan menunggu perbaikan bandara, pemuda era 70-an itu sering menghabiskan waktu sorenya di tepi laut sambil membayangkan kekasihnya menunggu. Pernyataan itu disambut gelak tawa peserta.

“Inilah riwayat singkat yang kalau dikembangkan bisa menjadi prosa,” kata Joesoef, sebelum berganti ke soal penulisan sambil terkekeh.

“Untuk penulisan, memang tidak ada rules-nya, tidak ada aturan yang pasti. Artinya setiap penulis bebas untuk memilih cara dan gayanya sendiri, maka jika gagal, tidak ada maaf baginya,” lanjutnya kemudian.

Karya artistik, adalah karya yang sempurna. Entah itu sastra, puisi, seni lukis atau seni patung. Karena seniman, apakah dia itu penulis, pelukis atau pengarang lagu, memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memilih tema, warna dan kata-kata. Dan jika mereka tidak puas dengan karyanya, tidak ada satupun orang yang bisa melarangnya untuk mengahncurkan karyanya. Tidak aneh jika ketika kita datang ke tampat penulis, di tempat sampahnya banyak karya-karya itu ada di sana. Meski terkadang, bagi orang awam itu sudah sempurna.

Setiap penulis, pelukis atau pematung, dalam berkarya mereka memiliki gayanya sendiri. Maka itu, meski warna dan kata-kata yang dipakainya sama, namun bila dilakukan dengan sentuhan dan sudut pandang yang berbeda, akan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Tidak heran jika tulisan yang hanya membahas tentang dua jenis kelamin perempuan dan laki-laki, bisa menghasilkan milyaran buku beredar di pasaran.

Soal penulisan, ia mengakui tidak pernah mendapat training khusus tentang menulis, kecuali di Sorbone, training menulis ilmiah, yang menurut penuturannya aturan di sana cukup ketat. Supaya sebuah tulisan tidak hanya logis tapi juga seimbang. Kalau yang diutarakan itu harus dibahas dalam dua bab, atau dua bagian, maka kalau bagian pertama itu ada sepuluh bab, bagain kedua juga harus sepuluh bab. Begitu juga jika satu bab terdiri dari lima pasal, yang lain juga harus lima pasal. Tidak mudah.

Masalah di atas tentu lain dengan produk pemikiran atau konsep yang dihasilkan oleh negarawan. Konsep tersebut jika belakangan ada yang salah, maka tidak bisa diganti begitu saja, karena itu akan membuat rakyat bingung. Contohnya, undang-undang dasar kita yang sudah diganti sebanyak lima kali, meski menurut politikus itu untuk penyempurnaan, tapi di mata rakyat membingungkan.

Perbincangan dengan Joesoef, bukan melulu soal penulisan atau trik menulis, memang. Lebih dari itu, Joesoef justru mengajak para peserta yang hadir untuk menumbuhkan kesadaran tentang perlunya menulis. “Mengapa menulis?” Pertanyaan balik dilontarkan Joesoef.

Sebuah tulisan dipastikan memiliki sebuah pesan. Jika tulisan itu sendiri dimaknai sebagai yang tersurat, makna yang lebih penting adalah yang tersirat didalamnya. Ia berupa ide, gagasan, pemikiran, yang dialamtakan ke alam pikiran manusia. Seperti kata Napoleon, bahwa tulisan lebih tajam dari bayonet. Tulisan memiliki kekuatan.

Menyadari betul bahwa tulisan di alamatkan ke alam pikiran manusia, maka Joesoef memandang pentingnya kaitan penulisan dengan pendidikan. Karena hanya pikiran yang teridik merasa perlu untuk membaca. Sebab kalau tidak, selain tidak bisa membaca, orang tersebut tidak akan berpikir tentang apa yang akan dikaji. Mengapa?

Segala sesuatu lahir dari pikiran manusia, maka itu dalam pikiran manusai harus ditanamkan bibit-bibit pemikiran yang terbaik, untuk kehidupan menusia yang beradab.

“Adil dan beradab. Selain menjadi salah satu sila dari dasar negara Indonesia, juga disebut sebagai rumus umum. Bahkan Unesco membuatnya menjadi rumus khusus demi perdamaian. Unesco berpendapat, jika peperangan dimulai dari pikiran manusia, maka dari pikiran manusia itu juga harus kita bangun benteng-benteng tentang perdamian. Dan demi perdamaian itu harus ada pendidikan, harus ada kultur dan ilmu pengetahuan,” tandasnya dengan wajah serius.

Secara ekslpisit, Joesoef memberi contoh pentingnya culture. “Tujuan pendidikan di Sorbone adalah, bukan untuk menghasilkan ilmuan Sorbone, walapun di sana mendirikan kuliah-kuliah secara ilmiah… The Man of culture. Jauh lebih penting. Karena kalau ilmu pengetahuan jatuh ke tangan orang yang tak berbudaya alangkah berbahayanya, Bush misalnya. Iya toh?” katanya sambil menerawang.

Dalam kesempatan ini, Daoed Joeseof yang siang itu mengenakan kemeja batik abu-abu dan celana navy, juga menyayangkan tentang tolok ukur keberhasilan seorang penulis, yang kadang diukur dari rating penjualan. Jika terjual banyak dan cepat, maka disebut berhasil. Joesoef menyebut Harry Pootter, buku yang best seller namun ia ragukan apakah isinya berguna bagi kehidupan manusia.

“Manusia, oleh karena pengalaman sehari-hari, karena pendidikannya, terkadang tanpa disadari bertindak berdasarkan model mental. Orang selalu membuat model. Menyederhanakan tentang gambaran realitas. Misalnya soal ilmu ekonomi, banyak sekali memakai model. Dan supaya terlihat logis, maka selalu memakai ilmu matematik. Tetapi, logis belum tentu applicable,” paparnya.

Lalu dengan penuh semangat, ia memaparkan bahwa teori bisa logis tapi belum tentu applicable. Teori disebut logis karena correct. Disebut correct karena diuraikan dari asumsi dasarnya. Orang bisa jadi doktor dan menerima nobel, tapi belum tentu applicable karena asumsinya tidak sesuai dengan realitas.

“Ada dua cara memperbaikinya. Pertama asumsinya itu diganti, berarti teori itu dibongkar dan diganti, atau keadaan direkayasa supaya sesuai dengan asumsi itu,” kata mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu dalam nada sumbang. Ia nampak berpikir, kemudian dari bibirnya keluar kalimat empat level yang menjadi dasar ia menulis.

Pertama, moral imagination. Pemikiran ini muncul karena ia mengendus suatu teori yang dianggap berbahaya bagi bangsa, meski itu baik bagi ilmu. Teori tersebut menganggap mansuia sebagai hewan ekonimos, semua pakai perhitungan matematik. Ia mencontohkan kondisi jaman pemerintahan Soeharto. Meskipun rakyat tidak perlu memikirkan soal harga kedelai yang melambung, karena saat itu ekonomi cukup, tetapi orang tidak merasa menemukan kebebasan. Manusia diberi kebebasan untuk to have more, but not to be more. Hanya diberi kesempatan memiliki lebih banyak tetapi menjadi tidak sempurna dalam kehidupan berpolitik melalui demkokrasi. Itulah yang membuat rakyat melakukan reformasi.

Waktu terus berjalan, seperti sudah disusun, kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya tanpa seorang peserta pun menginterupsi. Beberapa peserta malah sering mengangguk-anggukka n kepalanya.

“Kegagalan ini terjadi hingga sekarang, karena pemerintah tidak pernah bisa memadukan kedua konsep pembangunan ekonomi dan pembangunan politik. Ketidakberhasilan itu karena, dua konsep ini dibina dan dihasilkan dari dua orang yang berbeda. Pembanguan ekonomi dilakukan oleh kelompok ekonom, termasuk saya yang kadang-kadang membenci kegiatan politik, karena selain menganggap pegangannya tidak jelas,ukuran ekonom selalu income. Sedangkan politik pembangunan ukurannya kebebasan. Sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Tidak bersinergi,” urainya. Dalam buku “Dia Dan Aku” Joesoef menulisnya.

“Saya kembalikan ke moral imagination. Apa yang dimaksud moral imagination? Ia satu kekutan etis yang berada jauh lebih kuat, jauh lebih luas dari pengalamn peribadi, lebih dari yang kita alami sehari hari dan apa-apa yang sudah kita ketahui. Jadi tujuan saya menulis, karena saya akan membantu the mind of man, untuk to be more imanjination. Maka untuk itu saya buat ukuran mengenai dasar tulisan saya. Saya harus membuat, yang saya sebut istilahnya human letters, tulisan manusiawi. Tulisan yang membawa pesan bagi manusia berupa pencerahan, mengingatkan makhluk manusia akan nadir yang sebenarnya, sebagai ciptaan Tuhan yang lebih bermartabat dibanding makhluk lainnya. The truth human nature,” tandasnya.

Lalu Joesoef mengutip kata-kata Manrow bahwa manusia tidak ada bedanya dengan semut atau gajah dan hewan-hewan lain yang terlempar secara acak di dunia ini. Adam dan hawa juga diturunkan secara acak, tapi dari yang kebetulan itu dibuat sesuatu yang riil. Manusia tidak pernah menyerah begitu saja. Ada banjir membuat bendungan, dan terus menciptakan sesuatu yang baru untuk keperluannya. Hingga menciptakan kapal terbang, meski pohon kapal terbang itu tidak ada. Tetapi manusia bisa menciptakannya dengan ilmu pengetahuan. Semua itu bukan hasil doa, tapi hasil yang dibuat oleh manusia.

Menulislah sebagai intelektual. Itu telah dilakukannya. Meski ia seorang ekonom, namun ketika menulis, ia mematikan bidang keilmuan tersebut. Itu pula yang berkali-kali dipesankan kepada peserta, bahwa walaupun kita sebagai doktor, ekonom, ataupun psikiater, tapi ketika menulis hendaklah berpikir dan menulis sebagai intelektual. Kerja yang dikategorikan sebagai intellectual profession.

Joesoef kembali merenung. Tak selang lama, ia menjelaskan tentang kelompok masyarakat yang terdiri menjadi beberapa bagian. Ada sub communities. Ada juga religius komuniti. Ada yang disebut business community. Yang terakhir ini mempunyai aturan sendiri, rumus sendiri dan kepentingannya sendiri. Lalu ada scientific community, dan kemudian juga ada intelletual community, artistic community, termasuk olahragawan dan wartawan atau penulis.

Intinya, sebuah tulisan harus memiliki basis pengetahuan, baik itu yang diperoleh dari bahan bacaan, yang diperas dari pengetahuan, maupun yang diperoleh dari pengalaman. Dalam perenungannya, keempat level yang dimaksud oleh Joesoef sebagai dasar menulis, satu sama sama lain tidak bertentangan, melainkan bersinergi. Berikut uraian empat level itu.

Pertama bacaan fantasi. Dari sanalah ia mendapatkan berbagai judul bahan bacaan. Sedari yang berbahasa Melayu hingga Belanda yang ditulis oleh tokoh-tokoh terkenal. Dari situlah Joesoef mendapati beragamnya cerita moral yang belakangan ia sebut sebagai filosofi. Never ending knowlegde.

Ketika bercerita itu, rupanya kenangan masa lalu melintas di benaknya. Ia mengisahkan ketika ia harus meneguhkan diri untuk menghadapi sikap sinis para tetangga yang tidak suka ia menimba pendidikan di sekolah Belanda dan membaca tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda. Joesoef merasa heran, “Padahal Rosulullah SAW jelas-jelas telah bersabda, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, meski nabi Muhammad tahu bahwa Cina bukan Islam. Padahal, melalui wahyu pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad berbunyi iqra (bacalah), mengisyaratkan bahwa manusia perlu membaca. Karena dari sanalah manusia mendapat ilmu pengetahuan,” paparnnya.

Kedua, narrative history dan biografi. Membaca riwayat perang sabil yang terjadi di Aceh. perang demi perang yang selalu timbul di sana, seolah menjadi cara penyelesaian masalah. Kenyataan itu, membuatnya berpikir bahwa manusia itu harus punya ide. Harus punya satu pikiran yang bisa disebarluaskan demi kebaikan bersama. Biografi Napoleon telah mengilhaminya.

Level ketiga, prosa reflektif, seperti layar terkembangnya Ali Syahbana yang bercerita tentang peran seorang ibu, yang tidak saja mengurus rumah tangga tapi juga menyiapakan Negara. Layar terkembang hanyalah kiasan, tentang sosok perempuan yang tidak bisa dianggap remeh. Joesoef mengakui bahwa apa yang kemudian dicapainya berkat bantuan orang-orang yang telah menopangnya.
“Kata Newton, kalau saya berhasil merumuskan sesuatu yang baik di bidang ilmu, because I am standing on the shoulders of giant, karena saya berdiri di bahu raksasa. Dari sekian banyak orang-orang itu adalah emak,” kenang Joesoef, seraya menoleh ke samping kiri, di mana sang istri, yang sering disebut sebagai kekasihnya duduk di situ.

“Nah, ini yang keempat, fiksi puitis. Walaupun itu fantasi, tapi dia menanamkan suatu moral. Satu norma yang menambah pengetahuan saya, yang mengantar saya ke arah yang saya sebut filosofi, karena puitic ficsion itu berawal dan berakir dalam satu misteri. Dan misteri itu diperkenalkan oleh filosofi dan kemudian pengetahuan. Itulah filosofi and scientific knowledge. Itu yang mengajar saya berpikir secara teratur dan bisa membuktikan kebenaran itu, dan berusaha merubah kalau ternyata saya tidak benar. Ya inilah saudara-saudara… Saya tidak boleh memonopoli meskipun ini rumah saya, karena saudara-saudara pasti punya pertanyaan. Dari manapun, saya bersedia ditanya. Apakah itu yang saya bicarakan dan yang tidak saya bicarakan. Karena ini pekerjaan mulia, bahwa menulis itu pekerjaan yang ditujukan ke pikiran manusia, bukan ke perut. Silahkan….” Kata Joesoef membuka sesi tanya jawab.

Peluang itu langsung dismbut oleh Nadia yang menanyakan level keempat. “Katanya empat pak?” tanya Nadia.

“Iya, pertama fantasi, narativ history dan biografi, frosa reflektik dan fiksi puitis, filosofi dan pengetahuan ilmiah,” ulang Joesoef.

“Level satu pengkayaannya dari mana, misalnya sudah level satu, gimana kita tahu kalau ini sudah level satu?” tanya Nadia lebih lanjut.

“Dari bahan bacaan yang mengantar saya bisa membaca buku buku itu. Tadinya saya tidak ngeh terhadap sejarah perang sabil. Mengapa mereka mati? Yang saya anggap, ya manusia pasti mati, gitu aja. Ternyata belakang akhirnya saya tahu bahwa mereka mati karena ada yang diperjuangkan,” Joesoef menjelaskan.

“Saya Lydia, sekretaris. Ada dua pertanyaan yang saya mau tanya. Pertama, kenapa bapak berkenan menerima kita. Kedua, mungkin bisa cerita sedikit mengenai penulisan buku emak.

“Pertanyaan yang bagus,” Kata Joesoef. Lalu dia menjelaskan bahwa sebelumnya dia memang sudah mengenal Andreas Harsono, yang berprofesi sebagai wartawan, suatu profesi yang bagi Joesoef adalah terhormat. Maka ketika ia diminta mengajar, Joesoef tak menolak.

“Membagi pengetahuan itu nggak rugi, nah itu emak yang cerita. Itu emak yang bilang,” katanya. Serangkaian kekaguman dan kenangan tentang emak pun memenuhi kepalanya, menyergap perasaanya dikala ia meraih dua gelar doktor di Sorbone. Joesoef mengisahkan kenangan yang sempat membuat matanya berkaca-kaca.

Masih soal buku emak, peserta bernama Indarti mempertanyakan soal pemakaian bahasa dan kata-kata yang menurutnya tergolong tinggi. Padahal, sebenarnya bisa disederhanakan, supaya kumpulan cerita yang ada dalam buku tersebut terkesan ringan dan bisa dimengerti oleh remaja-remaja dari tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama).

Tanpa menafikan pendapat Indarti, Joesoef mengungkapkan beberapa alasan. Pertama, di Medan ada bahasa melayu. Yaitu Melayu sopan dan melayu pasar. Dia memilih menggunakan yang pertama karena, untuk menggambarkan sosok seorang emak yang meski sederhana namun ia adalah seorang perempuan yang punya pikiran dan kehalusan budi yang tinggi. Banyak pemikiran yang dihasilkan oleh sang emak, ternyata belakangan pemikiran itu, juga dilahirkan oleh orang-orang yang besar seperti Syafi’i Ma’arif Ketua Umum Muhammadiyah.

Beberpa peserta kembali mengangguk-anggukka n kepala. Saat itu jarum jam sudah mengarah ke angka 11. 50 menit. Pada saat itu, Leila Mona Ganiem, alumni peserta narasi angkatan II, menunjukkan jari untuk diberi kesempatan bertanya, yang disambut dengan isyarat lambaian tangan Andreas dan Joesoef.

“Hari ini saya dapat berkah luar biasa, bertemu dengan bapak ibu yang luar biasa. Saya mau bertanya, sebenarnya ini bersifat personal, tapi saya takut ini nggak ada waktu, jadi saya tanyakan saja. Saya saat ini sedang membantu Depdiknas (Departemen pendidikan nasional) untuk membuat kurikulum untuk luar sekolah. Yang ingin saya tanyakan ke bapak adalah, bagaimana berpikir besar, berpikir besar untuk melihat bahwa kurikulum ini akan aplikasi untuk semua. Dan itu yang pernah bapak lakukan sebagai menteri. Bagaimana sih berpikir besar? Apa pegangannya. Seperti titik-titik yang bapak lihat dari emak dan buku-buku itu, itu benar benar-benar mencerahkan. Bagi saya, untuk berpikir besar visi sederhanaya apa…?”kata Mona dalam penyampaian yang runut.

“Ya, saya pikir ini pertanyaan tidak menyimpang ya..? kerena ini tentang ide,” kata Joesoef, sambil mengedarkan pandang ke arah peserta.

“Mengapa, saya terima tawaran pak Harto? Waktu saya kerja di Sorbone, meski tidak ada yang menyuruh saya, di samping saya menyiapkan disertasi, saya menyiapakan tiga konsep pembangunan. Pertama pembangunan nasional, di mana ekonomi membawa peran penting. Yang kedua konsep pembangunan pertahanan dan keamanan. Karena sesudah kita membangun kita harus bisa mempertahankan apa yang sudah kita bangun. Ketiga konsep pembanguan pendidikan nasional. Karena pendidikan ini menyiapakn manusia masa depan, karena sebagai manusia di manapun di bumi ini berada, itu akan mengahabiskan sisa hidupnya di masa depan, tidak di masa lalu, meski masa lalu tidak boleh dilupakan,” papar Joesoef.

Lebih jauh ia menguraikan gagasannya, bahwa untuk menyiapkan masa depan yang baik, harus melalui pendidikan. Pertimbangan ketiga, adanya ketidakpuasan terhadap pembangunan ekonomi dan system pertahanan yang mengabaikan bentuk tanah kita yang arsipelago. Terdiri air dan tanah. Tapi sistem keamanan hanya memikirkan sistem daratan. Mengabaikan pulau-pulau. Seharusnya masalah tersebut harus dipikir secara menyeluruh, jangan dipikir sepotong-sepotong. Jangan dianggap membangun pendidikan itu menyusun kurikulum, karena sampai sekarang, SMP menyususn kurikulum dengan asumsi SD menyesuaikan, SMA menyesuaiakan, padahal itu merupakan satu kaitan.

Memang perlu diakui bahwa umur membedakan jenjang, tetapi harusnya bukan jenjang terputus. Dalam pikiran Joesoef ada tiga jenjang. Pertama jenjang pendidikan dasar, yang seharusnya guru besar mengajar di tingkat tersebut. Bukan di universitas. Di universitas relatif gampang. Kalau tidak bisa, siswa bisa mencari di buku. Di tingkat dasar, anak-anak perlu diperkanalkan dengan pengetahuan untuk hidup berupa informasi tentang apa yang ada di sekitarnya, tentang apa yang dia leihat di luar. Tidak lebih dari informasi. Lebih dari itu tidak ada gunanya. Infromasi juga tak perlu memperkenalkan akibat. Kalau ada cabe perkenalkan dengan cabe tanpa perlu memberitahu kenapa cabe itu merah.

Perlu membedakan bahwa informasi bukan pengetahuan. Selama ini, banyak orang salah anggap tentang dua hal itu. Sehinga, media (alat informasi) diartikan selah-olah pengetahuan.

Kedua, tingkat SMP. Di jenjang inni mereka mulai diajarkan tentang pengetahuan dengan sebab akibat terdekat, misalnya mengapa tanaman itu di siram, mengapa perlu air, lalu apa hubungannya dengan hutan ditebang dan tidak ada air. Di situlah kaitan itu akan muncul.

Ketiga, porsi untuk level menengah (SMA), di sana sudah perlu laboratoium, untuk memperkenalkan dan mendalami pengetahuan. Karena pengetahuan itu nilai. Artinya sesuatu yang berguna.

Keempat adalah universitas, di sinilah mereka diperkenalkan dengan pengetahuan ilmiah. Kenapa ilmiah? karena berdasarkan penelitian dan pembuktian. Untuk hal itulah, konon Joesoef pernah berselisih pandang dengan guru-guru besar, karena dia hendak menata universitas dengan konsep bahwa ilmu pengetahuan itu dibedakan dalam tiga bentuk yaitu, pengetahuan dalam bentuk produk, pengetahuan dalam bentuk proses dan pengetahuan dalam bentuk komuniti.

Menurut pengamatannya, ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari (dalam artian produk), sering tidak diperlakukan secara utuh di masyarakat kita. Namun tetap kita akui kebenrannya, sementara belum ada yang baru.

Namun, kita tidak pernah tahu bagaimana proses terjadinya suatu ilmu yang tidak terjadi begitu saja. Hal itulah yang jarang, bahkan hampir tidak pernah ada proses pembentukan ilmu. Assumisnya, penelitian itu gunanya tidak hanya untuk mengetahui sesuatu itu ada, tapi mengapa sesuatu itu terbentuk. Inilah ilmu pengetahuan dalam bentuk proses.

Urutan ketiga dari bagian yang mengundang keprihatinan Joesoef adalah, ilmu pengetahuan dalam artian komuniti, yang menurutnya hingga saat ini belum ada, yaitu sebuah komunitas dengan tingkah laku yang teratur, terpadu, ada ukuran sukesnya dan kebanrannya, untuk menmungkinkan orang mengembangkan sebuah proses, dan dari proses ini jadi produk. Hal inilah yang ditengarai Daoef sebagai kekeliruan universitas pada masa itu, di mana universitas- universitas tidak hanya memperlakukan ilmu secara tidak lengkap, tetapi terbalik.

Volume suaranya menurun bersamaan ketika suara adzan terdengar dari sebuah masjid yang tak jauh dari tempat kami berkumpul. Namun penjelasan demi penjelasan tetap disampaikan untuk menuntaskan jawaban.

“Mestinya, kampus sebagai komuniti ilmiah. Karena dalam prose situ mereka membuat produk. Dari situ timbul NKK. Mengapa normalisasi? karena di situ tidak normal. Di situ kampus dijadikan bagian dari masyarakat politik, itu tidak bisa. Saya tidak melarang mahasiswa berpolitik, saya malah menganjutkan, tapi politik dalam tiga konsep. Politik dalam artian konsep, police kebijakan dan arena. Yang di kampus harusnya dalam artian konsep. Sampai sekarang, kalau orang mau milih presiden, masih melihat siapa bapaknya. Kalau bapaknya presiden anaknya jadi presiden,” Joesoef tertawa.

Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta, dua tokoh orde lama disebutnya sebagai orang yang punya konsep. Dan itu tidak dimiliki oleh orang sekarang. Malah mereka meributkan tentang pengelompokan generasi tua dan muda, padahal urusan kepempimpinan tidak perlu memandang tua atau muda, laki-laki atau perempuan. Tetapi orang yang punya konsep. Tiadanya figur seperti itulah, yang membuat reformasi bergulir tanpa reform. Itu salah satu tulisan Joesoef yang dimuat di Kompas.

“Kembali ke soal politik dalam artian policy (kebijkana) harusnya dibuat oleh mahasiswa dan itu harus mereka lakukan di luar kampus. Karena kampus bukan bagian dari masyarakat politik. Mereka harus menggunakan organisasi yang mereka bentuk, entah itu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) atau apapun, yang penting jangan pakai bendera ilmu pengetahuan untuk berpolitik. Apalagi politik dalam arena, itu DPR!” tandasnya.

“Kita tidak bisa bilang ini urusan hukum atau atau urusan apa, meskipun setiap masalah ada ahlinya. Tapi kita jadi sering rusak karena pakar ini. Justru banyak masalah kehidupan itu timbul dari masing-masing masalah itu dan tidak ada ahlinya. Kita membutuhkan spesialis di dalam konsesi keseluruhan. Nah, itu filosofi,” Joesoef tersenyum.

Sayang, pelajaran filosofi tidak dijarkan di universitas. Padahal waktu itu, selaku menteri pendidikan ia berharap pelajaaraan itu diberikan pada tahun pertama atau tahun terakhir, saat siswa akan meninggalkan dan memasuki universitas.

Duabelas menit sudah berlalu dari dari ipukul 12 siang. Andreas memberitahu Joesoef bahwa ia sudah bisa menutup pembicaraan. Lalu, ia menoleh ke istrinya untuk mengucapkan terima kasih karena sudah ditemani. Soelastri memegang tongkat, lalu mereka beranjak dari kursinya. Siang itu kami makan siang bersama. Sebelum pulang, para peserta diajak melihat-lihat hasil lukisan yang dipasang pada dinding di setiap ruangan rumahnya.

Wawancara, Menggali Informasi
Oleh Siti Nurrofiqoh

Pukul tujuh malam. Di tempat kursus narasi biasa diselenggarakan. Di gedung Strategy, Jl. Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Andreas Harsono dan empat orang peserta memasuki ruang kelas. Topik obrolan pun segera berganti materi kursus, tentang wawancara. Andreas memajukan kursinya, mendekati empat peserta perempuan yang duduk berjejer kursi depan. “Ada yang sempat bikin wawancara di rumah?” tanyanya.

Diana menyodorkan telepon genggam jenis communicator yang digunakan sebagai alat perekam kepada Andreas. Sekitar sepuluh menit, mereka mendengarkan hasil rekaman wawancara yang dibuat Diana. Kemudian Andreas melontarkan tujuh pertanyaan untuk menanggapinya. Pertanyaan seputar apa yang paling mengesankan dari proses wawancara, apa kesulitannya dalam wawancara, apa gunanya, di mana ketemunya, mengapa memilih dia dan apa yang bisa dibagikan di kelas.

“Ada yang lain?” tanya Andreas untuk meminta pendapat dari peserta.

Sari Peni mengungkapkan kesulitannya ketika mewawancara seorang teman yang malah berujung dengan perdebatan. Masing-masing mempertahankan pendapatnya.

“Nah, bagaimana menurut anda. Boleh tidak mendebat sumber kalau kita wawancara?” tanya andreas.

“Nggak boleh, karena tugas kita dalam wawancara itu kan menggali informasi dari narasumber kita. Kalau ada yang saya nggak setuju, ya... nggak harus berdebat,” komentar Lydia.

“Yang lain?” tanya Andreas lagi.

“Boleh, karena dengan berdebat kita akan bisa mengetahui lebih dalam. Tujuannya menggali informasi juga,” kata Tiur yang dibenarkan oleh Noorman. Lalu Tiur mengusulkan agar Andreas mengajarkan trik mengenai perdebatan yang baik di dalam wawancara.

“Bagaimana kalau kita mencobanya langsung?” kata Andreas menanggapinya seraya meminta peserta menjadi volunteer untuk memperagakan sebuah proses wawancara.

Lydia dan Noorman maju ke depan kelas sebagai volunteer pertama. Lydia akan mewawancarai Noorman yang kali itu berperan sebagai narasumber. Sebelum memulainya Lydia bertanya kepada Andreas tentang boleh tidaknya menanyakan angle yang menurutnya menarik selain bertanya tentang data-data. Andreas mempersilahkannya karena memang begitu seharusnya. Seorang wartawan harus mewakili interest audiences. Sementara proses simulasi wawancara berlangsung, Andreas membalikkan papan tulis ke arah dinding dan membuat catatan-catatan.

“Pak, maaf, boleh saya tahu nama bapak?” Lydia membuka wawancara yang segera disusul dengan pertanyaan lanjutan setelah narasumber selesai menjawab.
”Boleh tahu, sekarang bapak bekerja di mana, pak?”
”Boleh tahu, kenapa bapak tertarik mengikuti kursus di Pantau?”
Ada delapan pertanyaan diajukan Lydia kepada Noorman. Tidak sampai sepuluh menit, Andreas bertepuk tangan dan wawancara pun selesai.

“Apa kesan anda terhadap interviewer?” tanya Andreas pada Noorman. Tidak mendapat jawaban dari Noorman, maka pertanyaan diarahkan ke Lydia. Menurut Lydia, Noorman yang berprofesi sebagai PR (Public Relation) memang tangguh menghadapi wawancara semacam tadi.

Tanggapan juga datang dari Diana, Mutiara, dan Tiur. Mereka menyepakati satu hal bahwa interviewer masih menggunakan kalimat panjang, yaitu lebih dari 15 kata. Secara rinci, Mutiara juga memaparkan beberapa catatan. Ia melihat bahwa tujuh dari delapan pertanyaan yang diajukan interviewer adalah pertanyaan tertutup dan hanya satu yang terbuka. Dalam bertanya interviewer juga selalu memberikan pilihan-pilihan jawaban, sehingga itu bisa mempersempit kesempatannya untuk mendapatkan informasi lebih dalam.

Tiur melihat sisi yang lain. Ada kesan ketidakseimbangan dari kedua belah pihak yang membuat interviewer selalu mengawali pertanyaan dengan kalimat “boleh”. Menurutnya kata itu berkesan merendahkan diri di hadapan narasumber. “Bolehkah seperti itu, mas Andreas?” kata Tiur meminta penegasan.

Andreas menggelengkan kepala. Kata seperti o gitu atau hal-hal yang bersifat opini walaupun kelihatannya inocent, menurut Andreas sebaiknya dihindari. “Reduce… reduce…reduce…hindari itu,” tandasnya. Kemudian Andreas menunjukkan hasil catatannya di papan tulis. Catatan tersebut di antaranya, interviewer masih mengunakan pertanyaan tertutup dan bertanya lebih dari 30 kata. Namun bukan berarti memberi pilihan iya dan tidak pada si sumber tidak diperbolehkan. Adakalanya itu juga bagus untuk meminta penegasan pernyataan narasumber

“Nah, saya mau katakan pada anda tentang ini,” kata Andreas sambil menuliskan Rule of the interview pada papan tulis. Ada empat hal pokok yang dibahas Andreas.

Pertama, on the record artinya boleh mengutip apapun sesuai apa yang diinginkan. Namun tetap harus ingat konteks.

Kedua, background – quotation only, artinya boleh mengutip tapi minta persetujuan bagian mana yang mau dikutip. Untuk itu diperlukan adanya kepercayaan. Apa yang akan dikutip harus dicocokkan dulu dengan narasumber. Kutipan harus sama persis dengan kata-kata narasumbernya.

Ketiga, attribution artinya tidak menyebut nama sumber tetapi hanya jabatannya. Misalnya, menurut pengajar kursus di Pantau, menurut direktur Bakeri Telecom, menurut dosen Universitas Indonesia, dan sebagainya. “This is bad!” komentar Andreas tentang ini. “Di sinilah pentingnya membangun kepercayaan, karena kepercayaan adalah asset bagi kita. Semakin kita berintegritas, semakin mudah mendapat kepercayaan narasumber. Perlu building trust,” ujar Andreas lagi.

Keempat, anonim atau nama sumber tidak dimunculkan. Kriteria ini berlaku untuk sumber yang berada pada lingkaran berita, keselamatan sumber terancam bila identitasnya dibuka, motivasi sumber murni untuk kepentingan publik bukan lempar batu sembunyi tangan, harus seijin redaktur, minimal sumbernya dua, dan bisa diverifikasi secara independen serta tidak berbohong.

Selain melalui kalimat, anggukan kepala pada saat narasumber memaparkan sesuatu juga kadang disalahartikan. Sita minta penjelasan lebih rinci menyangkut bahasa tubuh tersebut.

“Ya, harus diminimumkan,” jawab Andreas.

”Mari anda duduk di sini. Saya akan tunjukkan artinya body language,” Andreas meminta Sita untuk membantu memperagakan penjelasannya.

“Ini anggap aja meja tamu, ya?” kata Andreas sambil mendekatkan diri ke arah Sita.

“Kalau saya maju begini?” tanya Andreas. Sita tampak kaget dan bergerak mundur. Lalu Andreas mencoba dalam posisi duduk tetapi memajukan kursinya persis di depan Sita hingga lututnya hampir bersentuhan. Melihat adegan tersebut, Tiur berpendapat bahwa posisi itu tidak setara, seperti menekan narasumber.

Lalu Andreas menarik kursi ke seberang meja. “Bagaimana kalau begini? How do you feel…?” tanyanya.

Sambil tersenyum Sita menjawab, “Saya sangat nyaman.”

“Persis. Ini, ini,” kata Andreas sambil tangannya mengetuk-ngetuk meja dan menunjuk vas bunga di atasnya.

“Ini secara psikologis adalah tempat narasumber untuk bersembuyi. Ada meja, ada bunga, belum lagi kalau mejanya gede. Apa lagi kalau mejanya Habibi dan ada pesawat terbangnya banyak? Jadi tadi pertanyaan bagus. Body language bisa digunakan untuk apa saja. Untuk menekan atau membangun confident. Tapi yang paling penting di atas semua itu adalah building trust,” jelas Andreas.

Sesi dilanjutkan dengan melihat wawancara dalam rekaman video. Dalam layar televisi, seorang perempuan bercelana pendek dan memakai kaos putih yang sudah memudar. Ia duduk dan terlihat sibuk menutupi pahanya dengan bantal. Teriakan-teriakan anak kecil lebih dominan meningkahi percakapan wawancara.

“It is not easy,” komentar Andreas seraya minta video dimatikan dulu. Lalu Ia menerangkan bahwa dalam melakukan rekaman, baik itu gambar atau suara, usahakan tidak ada gangguan. Tidak harus merasa bersalah jika harus menyuruh orang-orang yang tak berkepentingan untuk tidak berada di tempat tersebut. Mereka pasti akan mengerti bahwa kita serius dengan pekerjaan kita. Itu sudah wajar untuk kerja wartawan atau penulis.

Video kembali diputar. “Aduh, saya tidak mengusulkan posisi kayak gini. Dia pakai celana pendek, pakai kaos yang sudah tua, tidak dandan. Ya... bukan artinya perempuan harus dandan, tapi rapi gitu,” kata Andreas menanggapi hasil rekaman tersebut.

Andreas berpendapat bahwa isi wawancara hasil rekaman tadi masih abstrak. Tidak menanyakan satu kasus yang berkaitan dengan bidang narasumbernya. Namun, ini bukan berarti kalau seorang interviewer tidak boleh bertanya mengenai hal yang abstrak, tetapi harus melihat-lihat narasumbernya. “Nah, jangan ngomong soal teori. Jangan ngomong abstrak. Hindari hal-hal seperti itu. But, anyway, ini pelajaran. Berbuat salah nggak apa-apa. Memang itu tujuan kita belajar,” tandas Andreas kemudian.

“Tadi mas kan nggak boleh kalau kita selalu bilang o gitu. Termasuk kalau I see, mas?” tanya Lydia.

“Nggak penting. Jangan. Itu merendahkan posisi anda. It doesn’t change the equation. Anda penting menyembah-nyembah orang, kalau itu memang penting, kalau nggak penting nggak usah. Mengatakan o gitu itu, kan kayak mau mengambil hati dia, don’t do it. Oke…? Just remain silence,” tegasnya.

Mutiara menuturkan pengalamannya soal bahasa tubuh. Dia kadang memberi isyarat berupa anggukan pada narasumber. Ternyata sikap itu mengeksplorasi sumbernya untuk mengatakan hal yang lebih banyak lagi. Kebetulan narasumbernya adalah orang yang tinggal di kampung. Menurut Mutiara, penting untuk melihat siapa yang diwawancarai. Mengangguk bisa berarti tanda mengerti, meski bukan berarti setuju.

Mewawancarai narasumber memang banyak sisi suka dukanya. Kecenderungan setiap orang berbeda-beda. Ada pejabat yang pintar berkelit, tidak mau bicara realita. Ada golongan kelas menengah yang suka bertingkah dan sok pinter tapi tak jelas mau apa. Ada yang mudah ditembus, ada juga yang selalu menolak.

Kesuksesan menembus sumber kadang dipengaruhi faktor kedekatan atau koneksi. Lalu bagaimana kalau tidak ada unsur kedekatan dan tidak ada koneksi? Hal ini menjadi pertanyaan Indarti Mora, peserta dari Bakrie Telecom.

“Nah, anda harus baca ini. Ini penting banget. Meski saya nggak membahasnya secara khusus. Tolong dibaca, diresapi. Ini semua benar adanya. Kalau ini enggak dibahas di kelas, bukan berarti nggak penting, lho ya?” kata Andreas sambil memperlihatkan dua kertas di kedua tangannya. Di kertas-kertas itu tertulis dua buah naskah berjudul The Art of the Interview oleh Eric Nalder dan Ten Tips of Better Interview yang diambil dari www.ijnet.org.

Seiring pergeseran waktu menandai usainya pertemuan, Andreas berpesan, “Kalau anda ingin menjadi wartawan atau penulis, yang harus anda perhatikan adalah bukan menjadi dekat dengan kekuasaan. Tetapi realita. Dan siapakah realita itu? Orang dekat kita. Mereka yang mengajarkan realita. Pejabat yang susah ditemui dan sering menolak diwawancara bukanlah narasumber. Tapi mereka yang tahu realita dan kebanyakan adalah rakyat biasa seperti nelayan, petani, pengungsi atau buruh. Untuk bisa menggali informasi soal pejabat, anda bisa mencari informasi melalui orang-orang terdekatnya. Ia bisa sekretarisnya, sopir pribadinya atau pembantunya. Meski dalam hal ini mereka bukan diposisikan sebagai narasumber melainkan sebagai akses memperoleh informasi.”


*****
Edited by Eva Danayanti

Jangan ragu, dengan sesuatu yang berbeda
Oleh Siti Nurrofiqoh

“Kenapa kita membahas ini? karena background-nya sangat menarik,” kata Andreas Harsono yang mengisi sesi ketujuh kelas narasi di gedung Strategy, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Malam itu, mereka membahas tulisan-tulisan karya Ryszard Kapuscinski. Ia seorang wartawan, penyair, penggubah puisi dan publisher sekaligus. Lahir di Pinsk (sekarang Belarus) dari pasangan Jozef dan Maria, pada 4 Maret 1932. Sejak tahun 1960 dia mulai menerbitkan buku yang memperlihatkan kemampuannya dalam penulisan bergaya narasi. Tulisan yang sebelumnya dibuat dengan paragraf pendek-pendek, mulai ditulis dengan panjang dan dalam. Beberapa buku hasil karyanya adalah The Emperor, Syah of Syah, The Soccer War, dan Travels with Herodotus.

“Hebat, ya?” komentar Andreas selesai membacakan biografi Ryszard Kapuscinski.

Pertemuan kelas Narasi, tanggal 18 Desember 2007 itu, kedatangan peserta tamu. Mereka adalah Dian Lestariningsih dan Oryza Ardyansyah. Datang dari Jogja dan Jember untuk mengikuti kelas Jurnalisme Sastrawi selama dua minggu. Namun, malam itu mereka tertarik untuk masuk ke kelas Narasi.

Malam itu mereka membahas The Soccer War di awal diskusi. Tulisan yang menceritakan perang enam hari antara Honduras dan El Savador akibat pertandingan sepakbola antarkedua negara tersebut. Intro yang diambil adalah suatu percakapan, lalu komentar pendek yang menyatakan pasti perang, kemudian pertimbangan bermanfaat tidaknya pergi ke negara tersebut, dan berikutnya sudah meninggalkan Meksiko hingga berada di Honduras El Savador.

Ringkas, padat, tak bertele-tele, tergambar dalam tulisan Kapuscinski. Potret-potret psikologis yang dia terapkan ketika meliput adalah hal yang luar biasa. Dalam mendeskripsikan seseorang, tidak hanya soal baju yang dikenakan, kacamata, rambut atau kerutan di kening. Ia juga mampu membaca dimensi tersembunyi dari adegan-adegan yang ada di baliknya.

Untuk mengetahui psikologi dalam diri seseorang, kita harus melihat sesuatu lebih dalam dari sekedar apa yang terlihat, apa yang dipakai, termasuk jabatan. Kapuscinski menggambarkan Syah Iran sebagai orang yang punya jabatan, tapi tidak sekedar karena jabatannya. Ia membuat penggambaran yang tidak biasa.

“Ada pertanyaan?” tanya Andreas.

The Soccer War kembali dibaca meski tidak seluruhnya. Para peserta tertarik dengan tempo yang dimainkan.

“Wah, kalau saya mungkin masih akan bermain-main dan berkutat pada pemikiran pergi atau enggak, seimbang atau enggak, Mas,” komentar Dian sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Peserta mengomentari paragraf yang memasukkan pribadi Ryszard Kapuscinski ketika ia tergesa masuk ke kamar hotel, memasukkan selembar kertas ke mesin ketik, harus bergerak cepat, bagaimana ia menabrak drum dan terguling-guling sepulang dari kantor pos dan seterusnya. Narsis-kah? Oryza menanyakan pendapat Andreas soal itu. Narsis atau tidak jika penulis memasukkan hal pribadi di dalam tulisannya? Leila Mona juga punya pendapat senada, bahkan ia punya pengalaman pribadi ketika sang dosen menyuruhnya menghapus penggunaan kata saya dalam disertasinya. Menurut sang dosen, itu narsis dan tidak bisa dipakai di Indonesia. Saat itu di hati Mona sempat terbersit, apakah karena budaya Indonesia yang collectives?

Setelah diam beberapa saat Andreas menjawab, “Harus dicari yang relevan dengan story. Bahwa dia nabrak drum sampai terguling-guling ke bawah, karena seluruh kota itu dimatikan lampunya supaya nggak dibom. Dia hanya bisa mengirimkan telegram di kantor pos karena waktu itu nggak ada internet atau warnet. Soal pribadi Ryszard Kapuscinski masuk di cerita, karena untuk menceritakan betapa gelapnya kota itu, betapa susahnya mengirim berita. Itu masih relevan bagi pembaca. Itulah. Soal sepakbola yang tak lepas dari soal politis, konspiratif, juga masalah-masalah pribadi. Itulah kira-kira gambaran perang itu seperti apa. Ada komentar?” tanya Andreas lagi.

Andreas mencoretkan ujung spidol pada sebuah karton. Tarikan dengan garis panjang ke atas ke bawah, lalu disambung dengan tarikan sedang ke atas ke bawah, dilanjutkan dengan tarikan sangat pendek ke atas ke bawah. Berganti-ganti hingga membentuk sebuah pola segaris.

“Kalau anda mau menulis, supaya konsentrasi pembaca nggak turun, buatlah naik turun seperti ini. Nah ini, panjangnya alinea. Jangan konstan. Itu akan membosankan. Tapi alinea diatur dengan adanya diskusi, dialog dan kesimpulan-kesimpulan yang menarik, itu tak membosankan. Biasanya yang pendek-pendek itu deskripsi. Menulis data dan angka-angka akan membuat daya pembaca menurun. Harus diangkat lagi dengan deskripsi-deskripsi. Supaya menarik,” Andreas menerangkan maksud coretan-coretannya tadi.

Lalu Andreas meminta Emmy Kuswandari membacakan halaman 160 dalam buku The Soccer War.

“Do you think it’s worth going to Honduras? I asked Luis, who was then editing the serious and influential weekly Siempre.
“I think it’s worth it,” he answered. “Something’s bound to happen.”
I was in Tegucigalpa the next morning.

“Stop,” Andreas meminta Emmy berhenti.

“Lihat kecepatannya bergerak. Set, set, set! Nggak perlu menceritakan susahnya mencari tiket, atau capeknya mengantri di loket. Juga tidak perlu menuliskan mengisap rokok yang biasa dialami oleh penulis laki-laki kebanyakan. Menulis dengan paragraf pendek-pendek. Cepat. Nggak bertele-tele,” tandas Andreas.

“Itu benar enggak sih seperti itu? Maksudnya, ketika dia hanya menuliskan hal yang pendek-pendek begitu?” tanya Mona.

“Benar. Efisien,” jawab Andreas.

Membiasakan membaca buku tentang suatu negara yang akan dikunjungi adalah salah satu kebiasannya. Inilah persiapan yang memang harus dilakukan oleh orang yang akan membuat liputan. Tidak hanya sekedar berangkat dan tak mengerti apa-apa. Bahkan Kapuscinski tidak hanya sekedar pergi ke tempat-tempat yang diinginkan, tapi juga ke tempat-tempat yang bermasalah. Ia juga juga sangat telaten untuk mendengar beraneka ragamnya orang-orang yang dia jumpai. Untuk mengetahui dimensi-dimensi yang tersembunyi dari setiap gerak-geriknya.

“Ada pertanyaan?” tanya Andreas.

The Soccer War ditulis setahun setelah perang. Resminya The Soccer War terbit dalam bahasa Inggris tahun 1978, jadi sembilan tahun setelah perang. Sedang versi Polandia sekitar 2-3 tahun setelah itu. Selama dia berkarir, ada bias tidak dengan profesi dia sebagai Agent?” tanya Dian.

Menurut Andreas itu merupakan pertanyaan menarik, meski tidak mudah menjawabnya. Tapi soal bias, hampir semua orang mempunyai bias. Itulah kenapa, penggunaan kata saya lebih transparan dibanding kata penulis, karena lebih bertanggung jawab. Saya vs penulis, adalah perdebatan panjang. Tidak sesederhana pemikiran bahwa saya dapat diganti dengan penulis, meski sekilas punya kesamaan. Saya dan penulis adalah dua kubu dengan cara pandang dan prinsip yang berbeda. Kubu yang suka menggunakan kata penulis beranggapan bahwa penggunaan kata saya dianggap subyektif dan tidak independen karena tidak berjarak. Sementara, kubu yang memilih menggunakan kata saya, justru mempertanyakan arti subyektifitas itu sendiri.

Setiap orang pasti punya bias terhadap nilai-nilai tertentu. Percaya bahwa dirinya tidak obyektif, pemikirannya lebih bisa diterima. Itulah perlunya transparansi, karena dengan transparan kita bisa memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menilai dan mengukur derajat kepercayaannya terhadap tulisan yang dibaca. Hal ini bukan hanya demi kenyamanan pembaca, namun agar tidak bersembunyi di balik kalimat pasif dengan menyebut dirinya penulis.

Andreas mencontohkan, bagaimana para dosen atau kalangan akademisi yang merangkap sebagai politikus, tim sukses, terlibat di partai, jadi penasehat, dan sebagainya. Bagaimana mau independen dan obyektif? I’m sorry…jika saya merasa ragu,” tegas Andreas.

Tulisan Kapuscinski yang dibahas berikutnya adalah Syah of Syah yang dimuat majalah The New Yorker dalam dua edisi di tahun 1985. Lain dengan The Soccer War yang bertempo cepat, kekuatan tulisan ini ada pada detil, kemampuan menggunakan metafor, perumpamaan dan sudut pandang yang diambil dari foto-foto. Kontras memang. Dari tempo yang penuh dengan loncatan, berpindah ke tempo yang lambat, penuh dengan detil dan kedalaman, serta paragraf-paragraf panjang. Sempat membingungkan.

Di sela keheningan, Mona kembali bertanya soal ukuran untuk mempercepat atau melambatkan tempo dalam tulisan, kapan mengabaikan detil dan kapan harus menggalinya.

Syah of Syah lebih lambat dan hanya berkutat pada foto-foto, karena foto adalah entry untuk masuk ke cerita, untuk menggambarkan profil seorang ayah dan anak dengan karakter yang berbeda dan masuk ke psikologisnya. Dalam konteks ini detail menjadi relefan,” komentar Oryza.

“Inilah cara penulis yang terlatih, ketika soal sepak bola harus ditulis sepeti apa, dan ketika menulis soal profil juga seperti apa,” Eko menambahi.

“Polanya gimana ya mas…? Sebagai penulis mas pasti tahu bagian mana yang perlu digali dan tidak?” pinta Leila Mona.

“Hmm, saya nggak merasa mampu menerangkan dengan bagus kapan harus dalam, kapan harus cepet,” kata Andreas, kemudian mengemukakan dua contoh yang disebutnya sebagai contoh ringan. Pertama, penulis harus tahu dulu apa yang mau ditulis. Menguasai teorinya, tahu isu besarnya, tahu di mana strukturnya, baru memilih titik yang mau dimasukkan. Titik masuk yang meski kecil tapi menggambarkan sesuatu yang besar dan orang yang membaca tahu bahwa penulisnya mengerti. Kedua, setelah tahu isi dan teorinya, aturlah keindahannya, sehingga bacaan menjadi bagus tanpa mengorbankan kedalaman analisis. Juga tidak perlu larut untuk menceritakan apapun yang tidak relefan, juga tak perlu menyediakan berhalaman-halaman tulisan hanya agar pembaca mengetahui teori yang dipakai.

“Orang tidak perlu tahu bahwa Pram atau Soekarno mengerti nasionalisme. Tapi, kalau dia nulis orang tahu bahwa dia mengerti nasionalisme,” tandas Andreas.

Di menit-menit terakhir Andreas juga menjelaskan tentang footnote yang sebisa mungkin dihindari. Ini karena nomor bisa mengganggu mata dan otak pembaca. Lalu bagaimana referensinya? Andreas biasa menggunakan halaman terakhir untuk menulis referensi. Hal itu dimaksudkan untuk mengakui bahwa itu bukan hasil pemikiran kita. Supaya tidak memplagiat karya orang lain. Dalam mengutip pun selalu ada batas. Untuk standar membuat buku yang jumlah katanya antara 30.000 -110.000, kutipan tidak boleh lebih dari 800 kata. Kalau lebih dari itu harus meminta ijin dulu dengan sumbernya.

Seiring gerak jarum jam yang terus berjalan, waktu tinggal tersisa beberapa menit untuk sampai pada pukul 9 malam. Layar yang sebelumnya menampilkan tentang sosok Ryszard Kapuscinski hanya menyisakan selembar kanvas putih. Sesi pun diakhiri.

*****
Edited by Eva Danayanti

Tentang Feature
Oleh Siti Nurrofiqoh

Narasi ibarat video. Strukturnya mirip gelombang. Ada adegan, dialog, dan naik-turun untuk menggambarkan ritme. Masing-masing bagian punya tempat dan ritme. Dari mulai hal yang tidak penting, ketegangan, hingga naik-turunnya diatur. Kalau feature cenderung kronologis. Feature diibaratkan foto Snap Shot. Bisa punya adegan dan dialog. Namun, tidak setiap feature pakai adegan dan dialog.

“Feature adalah tulisan yang disajikan sebagai karangan menarik. Lebih panjang dari berita biasa, bersifat kreatif, terutama dalam memilih sudut pandang. Terkadang subyektif yang memungkinkan anda memasukkan emosi dan pikiran, serta membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan. Informatif tetapi menghibur. Ia bisa membuat pembaca terharu atau tertawa. Ia awet sehingga tak lekas dipakai pembungkus kacang,” papar Budi Setiyono yang kerap disapa dengan nama Buset. Ia membawakan materi penulisan feature pada pertemuan kelima kelas narasi, tanggal 4 Desember 2007.

Ada feature berita dan ada juga feature human interest. Meski ia bukan berita itu sendiri tapi feature selalu berkaitan dengan berita-berita aktual. Ia merupakan cantelan dari berita. Dalam membuat tulisan feature tidaklah sulit. Jika kita memiliki mata wartawan, pasti banyak hal yang bisa dijadikan sebuah berita feature.

Buset lalu menceritakan kisah wartawan New York Time yang lebih banyak bekerja sebagai koresponden asing, kemudian dipanggil pulang untuk menjadi redaktur kota. Ia diminta meliput soal sampah.
“Hampir semua orang tahu sampah. Tetapi Berapa ton sampah di New York? Berapa orang dikerahkan? Berapa dana dibutuhkan untuk urusan sampah? Bagaimana proses sampah dari rumah-rumah hingga ke tempat pembuangan? Belum tentu orang mengetahuinya. Sisi itulah yang ditulis oleh redaktur tersebut. Itu peristiwa biasa, tetapi bisa ditulis dari sudut yang tak pernah dipikirkan pembaca, dan tulisan itu menjadi luar biasa,” tandasnya.

Feature bisa berfungsi sebagai penjelas atau tambahan berita yang sudah disiarkan sebelumnya, juga bisa mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita. Ia mungkin sebuah peristiwa tapi kita mengambilnya dari sudut pandang lain yang mungkin tak pernah terpikirkan pembaca.

Feature bukan suatu peristiwa tapi sebuah proses. Ia bisa sisi-sisi kehidupan yang sering orang temui tapi sering diabaikan karena tak menganggapnya penting. Misalnya ada gempa. Berita utamanya pasti soal gempa. Isi berita tidak jauh dari berapa yang menjadi korban atau soal dampak gempa tersebut. Namun dalam feature human interest, isinya bisa keluar dari konteks gempa.

Feature bisa mengambil sisi korban atau nasib pengungsi. Ini menjadikannya sebagai sebuah berita yang memberi variasi terhadap berita-berita rutin. Di musim hujan, Jakarta banjir. Di musim kemarau, mengalami kekeringan. Hal itu diketahui semua orang. Tetapi, tentang perubahan iklim, kenaikan air laut yang semakin tinggi, jarang diketahui orang. Perubahan iklim dan pasangnya air di laut adalah sebuah proses yang menarik ditulis untuk diketahui khalayak. Tinggal dipilih sudut pandangnya. Bisa ke soal infrastruktur atau kebijakan Pemerintah Daerah atau bisa juga soal perubahan iklimnya.

Feature bisa bersama berita utamanya, juga bisa lepas sendirian. Misalnya hari buruh pada mogok. Tapi nggak langsung yang ditulis adalah mogoknya. Biasanya dia mengambil satu contoh. Misalnya soal kehidupan buruh itu atau komunitasnya. Namun, lebih fokus ke human interest-nya. Berita utama bisa diabaikan.

Terkadang orang salah kaprah tentang feature. Ada yang mengaggap itu human interest atau laporan perjalanan. Tak ada masalah. Semua itu bagian dari feature. Seperti halnya narasi, feature juga punya struktur. Bermacam-macam struktur bisa dipakai dalam menulis feature atau narasi. Masing-masing berguna untuk mengatur atau meletakkan cerita yang kadarnya penting, kurang penting, sampai yang tidak penting. Misalnya model piramida terbalik, ia meletakkan hal yang penting di bagian atas dan yang kurang penting di bagian bawahnya. Bisa juga memakai struktur yang meletakkan klimaks di bagian atas, tengah, atau bagian bawah, atau di antara isi cerita. Penulisan dari yang umum ke khusus atau memperkenalkan permasalahan, puncak, baru klimaks.

Feature biasanya terdiri dari judul, lead, perangkai, tubuh berita dan penutup. Lead penting sebagai pembuka jalan, cara untuk melancarkan pemaparan kisah, dan untuk memancing minat atau atensi pembaca. Ada macam-macam jenis lead. Lead ringkasan, bercerita, deskripsi, kutipan, pernyataan, menuding, penggoda, nyentrik dan lead gabungan. Judul harus menarik dan menggugah minat pembaca. Judul tak harus berkaitan dengan lead, tak harus tegas menyiratkan maksud penulis, dan tak harus berupa kalimat lengkap (subyek, predikat, obyek). Bisa hanya satu kata saja.

"Semua tulisan punya tujuan. Ingin meyakinkan orang. Lebih kepada bagaimana menarik orang untuk membaca. Kalau kita membaca berita harian, dari lead-nya saja kita sudah tahu. Apa yang terjadi, siapa, di mana, kapan? Dari lead-nya kita bisa tahu beritanya. Tapi kalau feature atau narasi, ya kita harus baca semuanya,” komentar Buset.

Ada empat senjata feature, yaitu fokus, deskripsi, anekdot, dan kutipan. Pembukanya bisa macam-macam. Bisa unsur ruang, tokoh, bisa persoalan, peristiwa atau adegan. Sebab akibat atau akibat sebab. Fokus sebaiknya cukup sempit sehingga penulis bisa mengendalikan, tetapi cukup longgar untuk menampung bahan yang menarik. Deskripsi adalah penggambaran. Dalam menulis deskripsi disebar sepanjang cerita. Hindari jadi otak pembaca dengan menyisipkan kesimpulan dan penafsiran sendiri. Harus diingat bahwa penulis adalah mata, hidung dan telinga bagi pembaca. Anekdot adalah cuplikan kejadian lucu dan menarik yang memberikan tinjauan ke subyek cerita sekaligus menghibur pembaca. Kutipan langsung merupakan salah satu alat penulisan yang paling efektif. Tetapi harus dipilih yang menarik. Bisa juga dengan tambahan atribusi ketika si tokoh mengatakan suatu kalimat. Atribusi tokoh sebaiknya tidak disebar pada penulisan di bawah 5000 kata, karena akan menyulitkan pembaca memahami tokohnya.

Membuat feature dapat menggunakan pendekatan tiga buah unsur saja. Pertama fokus, biasaya berupa sebuah pertanyaan. Kedua, angle atau sudut untuk masuk pada sebuah cerita. Ketiga, Outline atau susunan cerita dari alinea ke alinea. Sebelum memulai menulis, membuat outline adalah sebuah keharusan. Outline ibarat kompas yang akan memandu langkah seseorang dalam menulis, supaya tidak ke sana ke mari tanpa arah. Outline biasanya dibuat setelah tema yang akan ditulis ditemukan. Untuk suatu tema, biasanya akan diriset, ada wawancara, juga observasi. Dari situlah angle dan sudut pandang bisa dipilih.

Jamaknya, membuat outline dilakukan dengan menjabarkan tema dari umum ke khusus. Membuat deskripsi tentang tema yang akan diliput dengan menggunakan kerangka 5W + 1H. Bahan-bahan dari penelusuran awal di pakai di sini. Lengkap dengan alasan kenapa tema ini penting dan kenapa menarik untuk diliput. Juga isu utama atau fokus tema. Deretkan sudut pandang atau angle yang memungkinkan untuk tema tersebut. Pilih yang paling penting dan menarik untuk dikerjakan.

*****
Edited by Eva Danayanti

Jurnalisme Narasi tapi Sastrawi
Oleh Siti Nurrofiqoh

Selasa malam, 27 November 2007, saat jarum mulai menuju angka tujuh. Seperti biasa para peserta memasuki ruang kelas untuk mengikuti pertemuan keempat kursus Narasi yang diadakan oleh Pantau di Jakarta. Budi Setiyono yang akrab disapa Buset, memulai pertemuan dengan memperkenalkan diri yang dilanjutkan oleh seluruh peserta atas permintaan Buset.

“Supaya nanti memudahkan proses mengoreksi tugas teman-teman,” katanya.

Buset membuka diskusi dengan pembahasan tulisannya yang berjudul Ngak Ngik Ngok. Menurut Buset, sebenarnya tulisan itu tidak termasuk karya yang luar biasa, bahkan dibilang jelek dan memalukan. Selain juga konyol karena terdapat kesalahan data soal setahun berdirinya Lekra dan Manifes Kebudayaan. Tulisan tersebut merupakan hasil eksperimennya ketika pertama kali menulis dengan gaya narasi.

“Selain tulisan saya, mana lagi yang menurut anda menarik di sini?” tanyanya sambil memperlihatkan buku Jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Pantau.

Secara bersamaan, Laksita Wijayanti dan Aurelius Noorman Ilyas menyebut, “Kegilaan Simpang Kraft.”

“Simpang kraft. Karya ini memang menarik. Saya pikir Chik Rini mampu mengadopsi gaya Hersey dalam Hiroshima. Baik penulisan, deskripsi, struktur, dan sebagainya. Saya pikir dia juga beruntung karena bisa melihat rekaman saat penembakan. Itu bisa digunakan untuk mendeskripsikannya. Kalau hanya melalui reportase, mungkin datanya sangat minim untuk membangun suasana atau adegan. Dia juga datang ke lokasi tempat peristiwa itu terjadi,” Buset menjelaskan.

Buset memaparkan bahwa struktur bisa dibolak-balik. Untuk ini, tak ada salahnya jika melihat-lihat dari film. Adakalanya struktur yang kurang bisa ditangkap secara utuh melalui sebuah novel atau buku, tapi di film terlihat lebih jelas. Ada adegan, jeda, flash back, namun selalu terkait.

“Jadi jangan saklek. Kelebihan narasi ini karena kita menulis dengan gaya bertutur,” ujar Buset.

Buset mengisahkan proses wawancaranya dengan keluarga Koeswojo. Mula-mula ia hanya melihat dari luar tembok, lalu ngobrol dengan penjaga warung di dekat rumahnya. Tujuannya untuk mencari informasi dan akses masuk ke rumah keluarga tersebut. Selain itu informasi juga digali melalui teman-teman Koes Plus yang ada di Malang dan para tetangga. Memang banyak informasi yang bisa didapat dari internet atau tabloid, tapi kebanyakan tak lengkap, bahkan kontradiktif karena media umumnya mewawancara satu sumber saja.

Dalam proses wawancara, reportase, dan observasi, detil tentang tempat dan suasananya bisa ditangkap dan direkam. Ruangannya ada di mana? Suasananya seperti apa? Ekspresi Si Sumber bagaimana? Namun bukan berarti semua ditulis begitu saja, tetap dipilah-pilah.

“Bagaimana caranya? Apakah kita masuk ke ruangan ini, lalu semua hal yang ada di dalamnya akan ditulis?” tanya Buset.

“Cukup yang terkait dengan tema,” jawab Diana.

“Bagaimana menentukan ini terkait dengan tema atau enggak?” Buset menyambung pertanyaan.

“Yang berpengaruh ke cerita,” jawab Diana lagi.

Buset memaparkan bahwa untuk membuat tulisan perlu dibuat rancangannya terlebih dahulu. Namanya outline. Di dalamnya, penulis sudah harus berpikir bagian mana yang akan ditonjolkan, dan itulah yang digali detilnya. Kalau tak dipilah akan sangat merepotkan, meski makin banyak detil bisa membuat tulisan jadi bagus, dan makin banyak bahan menulis jadi lebih enak.

“Kalau sudah jadi tulisan tulisan semacam ini sebenarnya sudah pasti ada pemilahan. Unsur waktu juga jadi hilang dalam hal ini, sama seperti kalau kita baca tulisan Alfian, itu juga nggak kelihatan unsur waktunya karena dipilahnya berdasarkan tema. Untuk menggambarkan keutuhan satu tokoh, bukan pekerjaan yang mudah. Apa lagi kalau lebih. Makin banyak tokoh utama, jelas makin sulit. Dalam menulis Koes Plus bersaudara, sisi keuntungannya adalah mereka tinggal satu komplek,” tambahnya.

Diskusi lalu berlajut ke soal observasi. Dalam jurnalisme, observasi menjadi bagian penting karena terkait dengan si sumber itu sendiri. Penulis harus tahu latar belakang, profesi, dan hal-hal lain yang terkait tema. Apa yang dikatakan narasumber, perlu diperiksa kebenarannya. Observasi bisa digunakan untuk mengetahui gambaran tema yang akan ditulis. Observasi kadang juga menjadi semacam narasumber pembanding. Jika ternyata berbeda, maka akan terlihat bagaimana karakter si sumber.

Mendengar proses penulisan yang begitu panjang, Diana dan Sita melontarkan pertanyaan tentang cara memelihara mood menulis.

Buset menjelaskan bahwa hal pertama yang perlu disiapkan adalah riset tema dan observasi. Lalu dilajutkan dengan membuat outline, mencari bahan-bahan terkait baik melalui buku, internet atau lapangan. Tidak perlu menunggu semua bahan terkumpul karena dalam proses menulis nanti akan ketahuan kekurangannya. Tidak perlu berpikir harus dengan bahasa dan kosa kata seperti apa, yang penting semua ditulis sampai akhir. Membongkar kembali atau rewriting, sudah tentu dilakukan untuk memperbaiki tulisan dan pengecekan data-data, apa lagi menyangkut kutipan yang sensitif.

“Bagian pembuka juga penting,” kata Buset beralih ke bahasan lainnya.

“Orang selalu akan bilang susah memulai. Seperti membuat film, kita akan memperkenalkan para tokoh, tempat atau suasananya karena akan menjadi setting utama dalam cerita. Misalnya tulisan Linda Christanty itu menarik. Dia mulai dengan pembunhan itu. Ketegangan diletakkan di awal. Paling mudah memang untuk membuat cerita kronologis dengan pakai sudut pandang orang pertama. Tapi jarang yang murni. Umumnya variasi antara pakai saya dan dia,” lanjutnya.

“Mas gimana maksudnya sudut pandang itu?” tanya Mutiara.

Buset menjawab dengan menulis kata-kata pada kertas plano. Ia menuliskan: sudut pandang orang pertama (saya), orang kedua (kamu) dan orang ketiga (dia). Lalu ia menjelaskan bahwa dalam menggunakan sudut pandang orang pertama, maka penulis sendiri akan menjadi pencerita atau narator. Ini bisa disesuaikan dengan peristiwanya. Apakah mau menggunakan sudut pandang pelaku? Korban? Orang dewasa atau anak kecil? Tentu semua mengacu pada aturan sumber.

“Mas, saya kan tahu kalau jurnalisme sastrawi ini semua fakta. Tapi kalau menggunakan sudut pandang saya, maka dalam jurnalisme artinya opini. Saya bisa kasih gambaran tentang proses perjalanan saya dari kantor ke sini.Tapi bisa jadi nggak realistis bagi orang lain karena memang nggak ada verifikasi. Meskipun itu fakta. Kalau saya lihat tulisan di jurnalisme sastrawi, ini jadi seperti bukan jurnalisme narasi tapi sastrawi. Tapi melihat tulisan-tulisannya, saya lebih melihat itu sebagai tulisan sastra begitu,” Mutiara menguraikan pertanyaannya.

“Siapa mau nanggepin?” tanya Buset.

“Saya juga sama. Sampai sekarang saya belum mengakui adanya jurnalisme sastrawi. Kenapa bukan jurnalisme yang ada kaitannya dengan narasi saja. Saya baca di buku-buku jurnalistik, soal interpretasi penulis pasti ada. Seperti kemarin mas Andreas bilang bahwa subyektif itu sangat sulit untuk dihindari,” Papar Eko.

Perdebatan seperti ini, soal jurnalisme sastrawi bukan hanya terjadi di kelas ini. Bahkan, saat buku Antologi Tulisan Jurnalisme Sastrawi diterbitkan juga sudah mengundang perdebatan serupa. “Sampai ada yang bilang, kenapa tak jurnalisme Pantau, kan Pantau yang menggunakan ini,” kenang Buset.

“Tapi prinsipnya, hanya mau menggabungkan antara jurnalisme dan sastra. Sastra itu hanya mau kita ambil alat-alatnya saja. Tapi untuk dasarnya tetap jurnalisme. Jurnalisme itu kan laki-laki, cenderung keras apa adanya. Sastra ini kan perempuan, ada nada dan kelembutan. Jadi ada iramanya,” tambahnya.

Penjelasan Buset langsung ditanggapi oleh Mutiara, “Tapi mas, kalau saya nggak salah, minggu lalu mas Andreas bicara tentang terminologi sastrawi. Dia bilang sama-sekali tidak ada kaitannya dengan sastra. Jurnalisme sastrawi adalah jurnalisme narasi.”

“Tulisan ini menjadi indah, gitu lho…karena ada opini si penulis. Dia tulis beberapa kalimat dan itu kalimat sastra, gitu lho… Saya tahu kalimat itu tidak dipakai di jurnalisme koran-koran, gitu lho... Kalimat yang halus dan membuat pembaca nggak bosan. Saya jadi agak bingung. Kalau itu diterjemahin dan kalau ini memang satu konsep jurnalisme, maka bahasa aslinya apa, gitu lho... Dan kenapa jadi jurnalisme sastrawi? Kenapa kemarin ada statement bahwa ini tak ada hubungannya dengan sastra. Ini jadi agak membingungkan aja,” tandasnya.

“Sekilas orang akan menganggap, apa sih jurnalisme sastrawi? Seolah hubungan perkawinan begitu saja, sehingga ada unsur sastranya di situ. Ada unsur fiksinya di situ. Pernyataan, ini bukan sastra. Ini fakta. Ini jurnalisme. Bahwa kemudian ada sastranya, kita hanya mengambil elemen-elemen sastranya. Ada adegan demi adegan dan dialog. Tapi prinsipnya jurnalisme. Bukan sastra bukan fiksi. Semua melalui proses verifikasi, semua fakta,” Buset menanggapi.

“Subyektifitas pasti ada. Kebenaran itu sendiri memungkinkan wartawan untuk subyektif. Obyektifitas itu sebenarnya subyektif. Nggak ada kebenaran yang obyektif. Kemungkinan semua orang subyektif. Ketika kompas memilih meliput berita ini misalnya, itu sudah subyektif. Ketika si wartawan memilih berita itu, juga sudah subyektif. Subyektifitas sudah pasti muncul dalam diri kita tanpa disadari. Kesadaran agama kita, pengetahuan, etnis, disadari atau tidak akan mempengaruhi yang kita tulis,” tambahnya kemudian.

Mutiara mengajukan soal bagaimana kalau menulis dinamika kelas, ruangan, orang-orang, dan kecenderungannya, tanpa perlu wawancara. Ia akan menulis menurut apa yang ia lihat. Apakah hal semacam itu termasuk jurnalisme sastrawi?

Menurut Buset, kalau mau menulis untuk mendeskripsikan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan orang, pasti masih bisa diverifikasi. Orang lain masih bisa membuktikan sendiri kebenaran tersebut. Tapi kalau menulis sesuatu yang berkaitan dengan orang, hal itu jelas tidak bisa. Untuk menentukan seseorang seperti apa, tidak cukup hanya dengan melihat. Misalnya kita datang ke rumah seorang pejabat yang di lemarinya banyak berjejer buku, bukan berarti kita bisa menyimpulkan bahwa orang tersebut suka membaca.

“Hati-hati lho,” pesan Buset.

“Dalam jurnalisme, apa yang dilakukan Mutiara didalam menggambarkan apa yang dilihat, lebih tepatnya disebut deskripsi. Bukan reportase,” komentar Eko Rusdianto.
Namun, Eko juga mengaku bingung tentang detil dan pendeskripsian tulisan Agus Sopian soal bom Bali. Dalam tulisan tersebut penggambarannya begitu jelas seolah-olah penulisnya ada di situ. Bahkan, Eko menamainya penulis yang misterius. Lalu Eko membaca deretan kalimat, yang sarat detil dengan deskripsi yang lengkap, “Sebuah Daihatsu merah hati meluncur pelan, menjinakkan keramaian lalu lintas kawasan Senen, Jakarta. Abas menginjak pedal rem. Tiga orang turun dari kendaraan…”

Eko kemudian bertanya cara mendapat fakta tersebut. Menurut Buset kedetilan seperti itu biasanya didapat dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di kepolisian ataupun pengadilan. Namun, tetap mengacu pada urutan sumber.

Dalam tulisan narasi, dialog penting untuk menggambarkan karakter si tokoh. Bahkan ciri khas daerah bisa ketahuan lewat logat dan dialognya. Misalnya, jika ada yang menulis kutipan langsung Soeharto dengan serba pakai ken, maka orang akan tahu kalau itu Soeharto.

Soal kutipan langsung dialog si tokoh, bagi Mutiara menjadi rancu. Kalau kedapatan sumber yang kurang jelas dan langsung dikutip tanpa direduksi oleh penulis, bisa jadi pembaca tidak mengerti. Tapi kalau dialog disusun oleh penulis, maka hal itu akan menghilangkan karakter si tokoh. Untuk mengatasinya tetap pada pemilahan. Kalau hal itu terasa mengganggu, bisa disusun ulang, tentu bukan menjadi kutipan langsung atau tak perlu dimasukkan dalam dialog. Tetapi menjadi deskripsi. Dialog bukan jalan satu-satunya untuk menggambarkan si tokoh.

Berapa persen komposisi dialog dan non dialog juga menjadi pertanyaan di kelas ini. “Hal itu tergantung pada selera penulis, masing-masing punya style yang berbeda. Tulisan Tom Wolf isinya dialog semua. Tulisan Truman Capote sarat dengan deskripsi. Bisa pakai yang mana saja,” ujar Buset seraya menyudahi pertemuan malam itu pada jam sembilan malam.

******
Edited by Eva Danayanti

Hersey Menuju Hiroshima
Oleh Siti Nurrofiqoh

“Kita akan mulai dengan Harold Ross, pendiri The New Yorker. Ketika hendak mendirikan majalah ini, Ia berpikir akan mendirikan majalah yang disebutnya Shopisticated. Targetnya adalah orang sekolahan yang suka seni, suka sastra, butuh informasi, dan analisis mendalam. Ia menarik penulis terbaik Amerika awal abad keduapuluh, macam E.B. White, A.J. Liebling, James Thursber, Rebecca West, dan lain-lain. Pada tahun 1946 sirkulasi majalahnya meningkat menjadi 300.000 pelanggan yang kebanyakan dari luar New York,” deretan kalimat panjang ini dipaparkan Andreas Harsono, ketika membuka sesi ketiga kursus Narasi III yang diadakan oleh Pantau.

Seperti biasa, pertemuan tanggal 20 November 2007 ini diadakan di Gedung Strategy, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan dihadiri oleh 16 peserta kursus. Pada sesi kali ini, peserta diajak menyimak karya John Hersey, seorang penulis yang lahir pada tahun 1904 di Tientsin, Cina, dari pasangan misionaris Roscoe dan Grace Baird Hersey. Pada tahun 1932, Ia sekolah di University Yale, lalu menjadi sekretairs novelis Sinclair Lewis yang meraih nobel tahun 1930 di Cambridge. Pada tahun 1937, Ia mulai bekerja untuk majalah Time dan Life.

“Ada yang pernah ke Cambridge?” tanya Andreas.

“Cambridge kota yang menarik. Di kota tersebut ada lebih dari 30 pemenang hadiah nobel,” komentar Andreas.

Dalam menulis, selalu ada yang disebut dengan story idea atau ide liputan yang biasanya sudah harus ada di kepala, sebelum wartawan atau penulis pergi ke lapangan. “Jika hendak berbelanja ke pasar, pastikan dulu dari rumah apa yang akan dimasak. Tidak mungkin pergi ke pasar tanpa tahu apa yang akan dibeli. Meski begitu, bukan berarti kita tidak boleh mengubah pilihan apabila menemukan sesuatu yang menarik,” kata Andreas mengistilahkannya.

Pada tahun 1945, Hersey hendak pergi ke Cina dan Jepang untuk meliput situasi perang dunia II. William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, menawarkan Hersey sepuluh ide liputan termasuk soal pengalaman warga yang kotanya dibom dengan dahsyat. Shawn mulanya menginginkan Cologne karya Joe Sayre. Namun, perang Eropa selesai duluan, maka Ia memutuskan mengambil Hiroshima.

Tahun 1946, saat Hersey naik kapal menuju Cina dan Jepang, ia membaca novel The Brige of San Luis Ray karya Thornton Wilder tentang bencana alam di Peru pada abad XVIII. Karya yang berasal dari pengalaman beberapa korban ini menggunakan narasumber atau sudut pandang dari orang biasa. Hal tersebut ternyata membuat reportase jadi lebih lengkap.

Tanggal 25 Mei 1946, Hersey tiba di Hiroshima. Itu artinya sudah sepuluh bulan berlalu sejak kota Hiroshima dibom pada bulan Agustus 1945. Untuk ukuran kerja wartawan, hal ini sudah sangat ketinggalan. Selama 3 minggu Ia mewawancarai sekitar 40 orang dari berbagai kalangan. Ada akademisi, saksi, termasuk enam orang (satu orang Jerman dan lima orang Jepang) yang menjadi tokoh dalam tulisannya. Hersey memilih keenam orang tersebut karena kendala bahasa yang Ia alami. Ia tak bisa bahasa Jepang, sementara narasumber tak bisa berbahasa Mandarin, sehingga orang yang dipilihnya adalah mereka yang bisa bahasa Inggris meski patah-patah dan juga artikulatif.

“This is important,” kata Andreas menekankan pentingnya narasumber yang artikulatif.

“Artikulatif adalah orang-orang yang selalu bisa menuangkan ide-idenya dengan jelas. Punya ingatan cukup kuat. Minimal orang tersebut bisa skeptis terhadap ingatannya dan deskripsinya lengkap. Seperti sawah ada di mana? Duduknya di kursi apa? Baju yang dikenakan hari itu apa? Semua bisa diingat dengan jelas. Clarity. Jika penulis bisa menemukan sumber yang artikulatif, artinya sebagian dari wawancara sudah selesai,” jelas Andreas.

Pada tanggal 12 Juni tahun 1946, Hersey terbang kembali ke Cambridge. Selama sebulan Ia menulis laporan dengan gaya yang kalem, kering, tanpa emosi. Bulan Agustus 1946, empat seri laporan sebanyak 150 halaman, 30.000 kata, dengan judul Some Event at Hiroshima diserahkan Hersey kepada William Shawn. Namun, Shawn merasa introduksi pada bagian dua, tiga, dan empat mengganggu aliran cerita.

Sepuluh hari Shawn dan Ross mengurung diri di ruang editor dengan pintu terkunci. Hasilnya, Ross memberi 47 komentar bagian pertama, masih ditambah 27 komentar setelah direvisi lagi oleh Hersey, dan 6 komentar lagi setelah revisi kedua dilakukan Hersey. Dalam revisi tersebut, Ross dan Shawn bukan hanya mengajukan pertanyaan tetapi meneliti titik kecil tiap fakta. Clarity, konsistensi, diksi, dan tata bahasa atau logika. Perempuan atau wanita. Tioghoa atau Cina, Dayak atau Daya, Aceh atau Acheh, semua itu adalah diksi yang mempunyai makna politik. Itulah kenapa diksi juga penting.

Dalam proses verifikasi laporan Hersey, soal pintu pun menjadi hal yang mengundang perdebatan di meja redaksi. Pintu rumah orang Jepang yang tidak menghadap ke dinding menjadi aneh menurut Ross dan Shawn. Tapi kehebatan Hersey terbukti, ketika semua fakta tersebut di periksa. Hersey telah menyajikan detil dan akurasi yang “biblical”, sehingga kelak orang Jepang menyatakan tak ada satupun yang salah. Semua benar adanya.

Akhirnya laporan panjang yang oleh Ross judulnya disederhanakan menjadi Hiroshima itu membuat majalah The New Yorker tampil tak seperti biasanya. Tanpa both, tanpa side bar. Ada empat bagian dalam tulisan Hiroshima, yaitu A Noiseless Flash, The Fire, Details Are Being Investigated, dan Panic Grass and Feverfew. Sambutan luar biasa datang dari masyarakat. Seorang John Hersey, mampu mengalahkan ratusan akademisi, ribuan aktivis, dan para politikus hanya dengan satu cerita. Pesan-pesannya dalam karya tersebut masih terasa hingga hari ini.

“Kenapa dalam menulis hitungannya pakai kata mas?” tanya seorang peserta di sela-sela pembahasan soal John Hersey.

Menurut Andreas, kata adalah dunia terkecil dalam sastrawi. Dunia pemikiran. Sedangkan karakter biasanya lebih dibutuhkan oleh disainer. Seorang disainer perlu tahu karakternya, supaya bisa menghitung jumlah halaman yang diperlukan.

Peserta tampak serius mengikuti sesi yang bertajuk “Hiroshima”.

Laksita Wijayanti mengajukan pertanyaan, “Apakah pada tahun itu tidak ada pemberitaan-pemberitaan sebelumnya mengenai bom tersebut, sehingga hanya karya John Hersey yang mendapat respon demikian besar dari masyarakat?”

Indarti Mora memberi tanggapan, “Mungkin sudah banyak yang menulis, tapi mungkin para penulis sebelumnya hanya menulis dari satu sudut pandang saja. Misalnya kalau soal perang, ya hanya sisi perangnya, kalau tsunami ya hanya soal tsunaminya saja, atau kalau soal gempa bumi ya hanya soal gempanya saja. Tidak ada yang menulis sedetil John Hersey yang mengemas fakta dan memaparkannya, tanpa menyangkut masalah politis.”

“Ya. Betul. Dan karena itulah karya ini menjadi bagus,” Andreas menambahkan.

Pertemuan malam itu diakhiri saat jarum jam di ruang kelas menunjuk pukul 20.48 WIB.

******
Edited by Eva Dananyanti

Kapan Jurnalisme Bisa Ditambahi Kata Sifat
Oleh. Siti Nurrofiqoh

“Kapan jurnalisme menjadi sah diberi nama jurnalisme sastrawi atau investigasi? Saya ingat ucapan Ulil Abshar Abdalla yang mengatakan bahwa Islam itu tidak pernah tidak ada kata sifanya. Ada Islam fundamentalis, syirah, liberal, dan sebagainya. Begitu juga dengan agama seperti Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya,” kata Andreas Harsono membuka pertemuan kedua kursus Narasi III pada
Selasa malam, tanggal 13 November 2007. Ada limabelas orang peserta yang menghadiri pertemuan itu di gedung Strategy, Kebayoran Lama.

Belakangan, kata sifat seperti sastrawi, investigasi, damai ataupun islami sudah sering terdengar lekat di belakang nama jurnalisme. Soal agama yang dibahas di atas, hanyalah sebuah contoh yang kebetulan punya kesamaan. Jurnalisme adalah kata benda yang sering dikasih kata sifat.

“Pertanyaannya adalah kapan suatu jurnalisme itu disebut jurnalisme sastrawi atau Islami, Protestan, Kaharingan atau apapun, tapi ia tetap jurnalisme. Kapan genre ini diakui?” tanya Andreas lalu menyambungnya dengan pemaparan panjang.

Di dalam jurnalisme, itu baru diakui apabila ia berhasil membuktikan metodenya. Metode yang tidak melawan metode umum atau yang sudah ada, yang biasa dipakai sehari-hari. Namun apabila jurnalisme, entah itu jurnalisme damai atau Islami atau apapun, kalau melawan metode yang sudah ada, maka itu bukan jurnalisme. Bicara jurnalisme berarti bicara soal fakta dan verifikasi. Tidak bicara soal perspektif maupun propaganda. Tidak dibenarkan liputan menggunakan perspektif Islam atau damai atau apapun. Meski bukan berarti kita melarang orang punya perspektif.

“Untuk membuat liputan yang lebih dari yang biasa digunakan sehari-hari, metode apa yang digunakan? Lalu apa yang membedakan narasi dengan liputan sehari-hari? Apa itu narasi?” Andreas kembali melontarkan pertanyaan.

Menurut peserta, narasi identik dengan tulisan panjang, mengalir, dan sifatnya bercerita (Story telling). Andreas lalu membuat tiga macam gambar pada kertas plano sambil menjelaskan maksud ketiga gambar tersebut.

Gambar pertama diberi nama piramida terbalik. Ia menjelaskan, jika menulis dengan model ini, maka hal-hal penting diletakkan di bagian atas, sementara ha-hal yang dianggap kurang penting ada di bagian bawah. Gambar kedua merupakan model tulisan feature. Dalam feature ada tiga komponen penting yang perlu diperhatikan, yaitu angle, fokus pada 5W+ 1H, dan outline.

Gambar ketiga yang menyerupai grafik di layar monitor ruang ICU rumah sakit, menjelaskan tentang tulisan narasi. Naik-turun, panjang-pendek, menggambarkan tempo serta pengaturan emosi yang di dalamnya ada tokoh, karakter, perjalanan waktu, dan sebagainya. Seperti drama tiga babak, ada pembukaan, klimaks, dan pentutup.

Frendy salah satu peserta merasa ragu apakah semua cerita yang panjang itu benar adanya dan sungguh-sungguh sebuah fakta.

“Faktual adalah salah satu syarat dalam menulis narasi. Ketika ada fiksinya, itu bukan jurnalisme. Namun, bagaimana cara mengetahui bahwa seseorang sedang berfikir, seseorang sedang sedih atau marah? Tentu melalui wawancara, rekaman, audio, video, dokumen, dan sebagainya. Sehingga kita bisa tahu jam berapa dia menoleh, jam berapa dia menggeser meja. Tidak ada fiksi sama sekali,” terang Andreas.

Salah seorang peserta dari Media Indonesia mengaku kesulitan membuat tulisan panjang, mengingat setiap harinya harus menyetor beberapa berita.

Andreas kemudian memperlihatkan surat kabar harian Kompas.

“Dalam setiap surat kabar, pasti menyediakan kolom untuk tulisan panjang,” katanya sambil menunjukkan dua halaman fokus di Kompas.

“Nah, ini seharusnya bisa digabung karena masih satu topik. Tapi ini dipotong-potong dan yang nulis beda-beda, sehingga kedalamannya berbeda, pemahamannya juga beda, ada yang ngerti, ada yang nggak ngerti. Jangan salah, banyak orang pintar nulis tapi nggak ngerti,” jelasnya lagi.

“Bagaimana caranya agar bisa menulis 33 halaman? Butuh stamina dan cara untuk mengatur dan menggambarkan sebuah kemarahan, cinta, damai, benci, aspirasi. Temponya bisa naik-turun. Naik, turun, lari! Bet bet bet! Ada emosi, ada kegaduhan, lengang atau sepi. Tulisan dibuat layaknya musik. Ada seruling, biola, drum, gitar, dan sebagainya. Itulah narasi,” tambahnya.

“Tapi kata rekan yang kerja di Kompas, pambaca lebih suka dengan tulisan yang pendek-pendek dan gambar karena jadi lebih entertain. Bahkan, orang juga lebih suka gosip,” kata Diana Nugroho.

“Itu benar. Siapa yang tak suka gosip? Hampir semua orang suka gosip. Entah itu gosipnya Ahmad Dani, Tamara atau Roy Martin yang belum lama ini ditangkap lagi karena narkoba. Tapi pertanyaannya apakah gosip itu penting buat hidup kita? Apakah tak lebih penting jika membicarakan harga minyak tanah yang semakin hari semakin naik dan akan membuat perkonomian negara terguncang? Atau soal kemacetan? Memang orang suka gosip, tapi kan hidup mereka tak ada hubungannya dengan kita, bukan?” jawab Andreas.

Tugas wartawan tidak hanya mengikuti atau menuruti keinginan atau sensasi yang diharapkan pembaca. Ada tiga sisi dalam media, yaitu pembaca atau pemirsa, pengiklan, dan masyarakat. Jika hanya akan menuruti sisi pembaca atau pemirsa, maka berita-beritanya akan semakin pendek dan menghibur. Jika hanya mengikuti para pengiklan, kadang mengaburkan prinsip jurnalisme ketika kepentingan pengiklan masuk ke dalam kebijakan redaksi. Padahal banyak topik yang penting bagi masyarakat untuk dikedepankan seperti BBM yang selalu naik, pemerintahan yang korup, partai yang tidak benar, ekonomi, politik, dan sebagainya, yang bisa ditulis dengan menarik sehingga orang mau membaca.

Tentang tiga sisi media, Noorman, pnggilan pemilik nama lengkap Aurelius Norman Ilyas yang bekerja di bagian Public Relation (PR) PT. Bakrie Telecom, mengatakan tidak terlalu peduli apakah itu menyangkut kepentingan masyarakat, pembaca atau pendengar. Dia justru lebih senang untuk memanfaatkan sisi pembaca atau pendengar, yang penting pesannya masuk dan bisa diterima. Bahkan terkadang malah menggunakan publik figur.

Public Relation (PR) dan jurnalisme berada pada daerah yang berbeda. Jurnalisme menyajikan semua informasi kepada pembaca dan membiarkan pembaca punya sikap masing-masing. Tetapi PR atau business leader bertujuan menyajikan informasi supaya orang-orang mengikuti penyewa PR company tersebut. PR atau politisi biasanya punya kecenderungan mengarahkan segala sesuatunya. Sedang jurnalisme tidak.

Bukan sesuatu yang salah jika PR harus menulis. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua tulisan itu jurnalisme. Jurnalisme juga bagian dari komunikasi, tapi komunikasi tidak selalu jurnalisme. Begitu juga propaganda. Ia bagian dari komunikasi tetapi tidak semua komunikasi itu propaganda. Tetap ada perbedaan.

“Kita memaparkan dengan detil soal obrolan dan segala sesuatu tentang sumber yang terkait dengan wawancara. Apa mereka yang diwawancara bisa mengingat setiap detil itu nantinya?” tanya Frendy.

“Dalam mencari narasumber juga perlu mencari tokoh atau karakter yang menarik dan artikulatif. Orang yang artikulatif adalah orang yang bisa menyatakan keinginan diri dan ingatannya dengan jernih. Selain itu akses juga penting. Meskipun karakter tokohnya menarik, kalau tak bisa ditembus dan diwawancara sama saja tak ada artinya,” jawab Andreas.

Dalam narasi juga ada yang disebut Time atau waktu. Waktu seperti video. Peristiwa berjalan bersama waktu. Lalu emosi. Makin kuat emosinya makin potensial untuk bagus. Apalagi kalau yang akan ditulis profil seseorang. Mungkin akan terdapat perbedaan antara orang yang menjalani kehidupan di Singapore dengan yang di Jakarta. Orang cenderung menjalani hidup penuh dengan perjuangan, sedari menghadapi banyaknya konflik hingga kemacetan lalu lintas. Kebaruan juga penting, karena tak ada guna mengulang-ulang sesuatu yang sudah lama. Juga faktual. Semuanya harus benar dan tidak boleh mengarang dengan ditambahi ataupun dikurangi.

“Kalau sedemikian besar usaha dan upaya untuk menulis, sedari verfikasi hingga wawancara dan memilih narasumber, lalu apa yang membuat orang masih mau menulis panjang. Apakah tulisan panjang masih cocok, mengingat budaya kita adalah budaya yang tidak terlalu suka membaca apalagi tulisan panjang,” tanya Frendy.

“Itu tantangan,” Diana langsung menanggapi.

“Saya memang suka membaca buku-buku, seperti novel-novelnya Pram atau cerita Alfian yang sampai bertiarap-tiarap dalam melakukan liputan. Itu yang mau aku pelajarai karena itu lebih hebat dari sekedar menulis stright news dan feature,” papar Eko Rusdianto peserta dari Makassar.

Cerita lain dari Eko soal menulis panjang, “Seorang fotografer pun sering membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk masuk ke pedalaman dan hutan-hutan, mencari gambar yang bagus. Begitu gambar itu dipublikasikan, tentu sambutan yang diperoleh sangat memuaskan.”

Menulis panjang akan membuat orang bisa menganalisis. Buku Pramoedya Ananta Toer yang berjudul The Book That Killed Colonialism mampu mengguncang sendi-sendi peradaban di Eropa. Hal itu membuktikan bahwa sebuah buku juga bisa membakar semangat orang untuk berani berkorban.

“Kalau anda bisa menulis panjang, benar dan kuat. Anda akan seperti dewa. Orang butuh tulisan panjang karena butuh analisisnya dan itu akan selalu dipakai untuk mengambil keputusan,” kata Andreas menegaskan.

Media massa, tak mungkin bisa menyaingi kecepatan internet dan televisi. Orang membutuhkan media karena butuh analisisnya bukan beritanya. Itulah gunanya menulis panjang. Jika ada gempa bumi, tsunami atau kebakaran, orang bisa melihat langsung dari televisi, internet atau sms. Sementara koran masih melaporkan dengan piramida terbalik untuk memberitakan peristiwa itu. Jelas ketinggalan.

“Kenapa mau menulis panjang? Karena kita butuh mengubah sesuatu,” kata Andreas mengakhiri pertemuan malam itu.

*****
Edited by Eva Danayanti

Tujuan Jurnalisme, Mencari Kebenaran
Oleh. Siti Nurrofiqoh

Tanggal 6 November 2007, pukul 18.30, kantor Pantau yang terletak di lantai empat gedung Strategy, Kebayoran Lama, masih diterangi cahaya lampu. Tidak seperti biasa. Kantor yang sehari-harinya hanya dioperasikan dari pukul delapan pagi hingga enam sore itu, masih tampak hidup. Di dalamnya ada sekelompok orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Obrolan dan diskusi kecil terjadi di sana. Andreas Harsono, Eko Rusdianto, Diana Nugroho dan Zamira Eliana Loebis, mereka memperbincangkan banyak hal. Mulai dari soal kasus majalah Times versus Soeharto hingga soal-soal ringan yang kadang juga diselingi canda dan tawa. Hari itu merupakan pertemuan pertama kursus Narasi III. Pantau kembali menyelenggarakan kursus ini untuk yang ketiga kalinya.

Tepat pukul tujuh sesi pertama dimulai. Setelah empatbelas orang peserta: Laksita Wijayanti, Diana Nugroho, Zamira Eliana Loebis, Akbar Abu Thalib, Eko Rusdianto, Mutiara Pasaribu, Sari Peni Nurulyati, Irvan Sihombing, Frendy Kurniawan, IndartiPrimora, Tiurlan Sitompul, Henrykus Sihombing, Lydia Mochtarinda, dan Emmy Kuswandari, di dalam ruang kelas.

Andreas Harsono dan Budi Setiyono, dua orang instruktur kursus Narasi III, memandu peserta untuk saling memperkenalkan diri dan menuliskan blognya. Beberapa peserta juga mengungkapkan harapan dalam mengikuti kursus ini. Mereka berkeinginan bisa menulis panjang.

“Menulis panjang. Setiap kali mendengar itu, saya disadarkan akan beban saya di kelas ini. Kalau saya tidak bisa mengajari anda menulis panjang, berarti saya salah,” kata Andreas menanggapi.

“Kelas narasi ini akan banyak membahas soal studi kasus, teori dan teknik,” ujarnya kemudian.

Andreas lalu menjelaskan tentang jalannya kursus yang baru akan berakhir pada bulan Maret 2008. Setiap pertemuannya sengaja dibuat santai, hingga setiap peserta bebas bertanya. Dalam silabus dicantumkan banyak pekerjaan rumah. Namun, Andreas mengingatkan agar peserta tidak merasa terbebani kalau tidak bisa mengerjakannya. Juga tak perlu merasa bersalah. Tapi boleh merasa rugi.

Andreas juga menjelaskan mengenai bahan-bahan bacaan yang sudah disesuaikan dengan materi-materi setiap sesinya dan di akhir masa kursus ini, peserta diharapkan bisa menulis sepanjang 5000 kata.

Budi Setiyono yang akrab dipanggil Buset juga memberi usulan tentang pemilahan pelajaran, menyangkut hal yang bersifat teknis dan teori. Untuk teori peserta diarahkan ke Andreas, sedangkan teknik kepada dirinya. Meski tidak selalu baku seperti itu. Peserta juga diharapkan mengirim tulisan-tulisan ke milling list Pantau-Narasi agar bisa langsung mendapat feedback dari instruktur maupun tanggapan dari peserta angkatan sebelumnya.

Andreas memulai penyampaian dengan materi Sepuluh Elemen Jurnalisme. Soal bias seorang wartawan maupun penulis. Bias dapat disebabkan oleh latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agama, yang membuat si wartawan atau penulis menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda.

“Semua orang boleh punya pendapat. Tetapi bagaimana seorang penulis mengatasi biasnya?” tanya Andreas.

Menurut Mutiara, bias akan tetap ada. Mungkin yang bisa dilakukan hanya meminimalisir. Saat ditanya Andreas bagaimana cara mengatasinya? Ia menjawab bahwa itu soal pilihan atau sikap si penulis itu sendiri.

“Caranya?” sambung Andreas.
“Bagi saya ini pilihan, sikap kita. Saya secara personal staff comunication dan yang nggak menjadikan itu yang paling utama. Kenapa orang Aceh ingin merdeka? Jawabnya bukan di saya. Itu yang harus dicari,” jawab Mutiara.

Andreas kembali bertanya, “Bagaimana anda bisa obyektif? Dari tadi kan ngomong soal bias. Bias kebangsaan, pendidikan, juga orientasi politik.”

Menurut Eko Rusdianto peserta dari Makassar, salah satu tulisan Andreas yang berjudul Republik Indonesia Kilometer Nol merupakan tulisan yang dapat menghindari bias.

“Di situ penulis menyebutkan soal militer Indonesia di Aceh, bukan TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bukan orang Indonesia dengan orang Aceh,” papar Eko.

“Ini kira-kira masalahnya. Memilih sudut pandang saja jadi masalah. Soal diksi saja kita sudah bias. Menyebut teroris muslim juga jadi masalah,” lanjut Andreas.

Andreas kemudian memaparkan keseluruhan 10 Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Elemen pertama atau tugas pertama adalah memberitakan kebenaran. Tetapi itu pun perlu dipertanyakan. Kebenaran buat siapa? Menurut orang Batakkah? orang Acehkah? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Apakah berita sama dengan kebenaran? Apakah akurat sudah pasti benar? Jawabnya bisa iya, bisa tidak.

Akurat belum tentu benar. Tapi tidak akurat sudah pasti salah. Kebenaran dalam hal ini bukan debat filsafat yang tak berujung. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional, dsb. Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapis demi lapis, tetes demi tetes hingga terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap dan lebih besar.

Tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran. Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

“Apakah kebenaran itu sama dengan yang lainnya? Bisa iya, bisa enggak. Masyarakat bisa salah. Mahkamah Agung juga bisa salah. Kayak Mahkamah Agung mengalahkan Time magazine. Mungkin dianggap benar. Tapi kalau kita keluar dari Indonesia, dan mikirnya dari Bangkok misalnya, ya salah. Tapi keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan pengadilannya. Berarti sistem hukum kita juga salah,” tegas Andreas seraya melanjutkan pemaparannya.

Di mana fungsinya kebenaran tersebut? Loyalitas praktisi jurnalisme ada pada masyarakat. Tapi bagaimana kalau masyarakat kita salah? Kepada siapa kita memberika loyalitas? Apa kepada PT. Bakrie? Atau kepada pembeli minyak sawit? Jawabnya tidak. Wartawan punya tanggung jawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi tanggung jawab terhadap perusahannya.

Kalau tidak berpikir demi kepentingan perusahannya tapi demi orang banyak, hal itu bisa menjadi gengsi bagi masyarakatnya. Wartawan lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja, maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

”Biarkan masyarakat membuat keputusan dan pilihannya sendiri. Kita tak perlu menggiringnya ke suatu arah tertentu,” kata Andreas menutup pertemuan hari itu pada pukul sembilan malam.

***
Edited by Eva Danayanti