Selasa, 15 Mei 2007

Membaca Hiroshima


Oleh Siti Maemunah Mampang

Sebelumnya, saya tak pernah berhasil membayangkan sedahsyat apa ledakan sebuah bom atom. Di bangku Sekolah Menengah, pertama kalinya saya berkenalan dengan cerita bom atom pertama didunia yang meledak di Jepang, tepatnya di kota Hiroshima dan Nagasaki, pada bulan Agustus 1945. Bom yang dinamai “Little Boy” oleh pembuatnya - Amerika Serikat, meluluh lantakkan kota tersebut.

Pagi ini, setelah membaca “Hiroshima” karya John Hersey, bacaan wajib sebelum mengikuti kelas kursus menulis malam nanti. Saya jadi bergidik membayangkan bagaimana kematian, kesakitan hingga depresi jangka panjang dialami oleh penduduk Hiroshima akibat ulah "paman Sam" dan “Little Boy”nya ini.

“Hiroshima” menceritakan apa yang terjadi di kota Hiroshima akibat bom atom dijatuhkan. Hersey menceritakannya dengan detil menawan, dari sudut pandang dan kejadian yang dialami enam warga kota tersebut. Mereka adalah perempuan lajang karyawan Departemen Asia Tin Workers, dokter yang memiliki sebuah Rumah Sakit swasta, janda seorang penjahit, pendeta asal Jerman, karyawan sebuah Rumah Sakit dan seorang Pastor.

Tulisan di mulai dengan menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh enam warga tersebut, beberapa jam menjelang bom di jatuhkan di kota mereka. Cerita mengalir bagaikan adegan-adegan film, memaparkan apa yang mereka alami dan rasakan disaat hingga setelah bom meledak. Kepanikaan penduduknya, suasana kota yang terbakar dan panas dan lenggang.

Sekitar seratus ribu orang diberitakan terbunuh, puluhan ribu lainnya dinyatakan hilang dan mengalami luka serius. Sebagian besar mahluk hidup ataupun benda mati pada jarak sekitar lima kilometer dari pusat ledakan mengalami luka bakar hingga meleleh. Belakangan para ilmuwan Jepang mengetahui, ledakan tersebut menghasilkan panas mencapai 6000 derajat celcius.

Pasca ledakan bom adalah masalah berat lain yang harus dihadapi mereka yang selamat. Mereka harus menghadapi kematian anak, kehilangan suami dan harta benda yang musnah selamanya. Mereka menyaksikan tetangga mereka terbakar, tubuh dan mukanya meleleh. Mereka juga menyaksikan banyaknya mayat terapung di sungai Koi. Tanpa mengetahui apa yag sebenarnya terjadi, bom apa yang dijatuhkan. Mereka hanya tahu begitu banyak kerusakan dan sedikit orang yang selamat.

Tak hanya itu, warga Hiroshima yang berada diluar radius 5 kilometer, harus menderita sakit berkepanjangan akibat radiasi ledakan bom tersebut. Banyak juga akhirnya meninggal akibat penyakit yang timbul karena radiasi tersebut. Sepuluh hingga lima belas hari setelah ledakan, mereka merasakan rambut mereka rontok. Sepuluh hingga lima belas hari berikutnya, mereka mulai mengalami gangguan pendarahan (blood disordered). Mulai gusi berdarah hingga jumlah sel putih menurun drastis. Kondisi tersebut membuat sang pasien sangat rentan terhadap infeksi kuman atau penyakit lainnya. Pasien dengan jumlah darah putih dibawah seribu bisa dipatikan makin menipis harapannya untuk hidup.

Jika penderita bertahan sebulan setelah ledakan, tubuh mereka harus berjuang bertahan dari rasa sakit berikutnya. Dalam beberapa kejadian, jumlah darah putih penderita tak kembali normal, bahkan meningkat diatas normal. Kali ini mereka harus berhadapan dengan penyakit komplikasi, seperti Keloid tumor. Umur mereka bergantung kepada ketahahan tubuh dan jumlah radiasi dalam tubuhnya.

Hersey dan Indonesia

Wuih … terus terang, saya “lelah” membayangkan banyak penderitaan yang diceritakan “Hiroshima”, yang ternyata tak cukup dirangkum dengan kata “luluh lantak”, seperti saya dapatkan dibangku sekolah. Tetapi, itu tak membuat saya berhenti membaca. Mungkin karena inilah cerita detil terlengkap yang pernah saya baca mengenai dampak ledakan bom atom pertama didunia. Mungkin karena sudut pandang paparan Hersey yang humanis, lengkap dengan paparan bagaimana budaya dan cara pandang orang Jepang menghadapi bencana tersebut.

Karya Hersey ini sama sekali tidak menggurui saya tentang apa dan bagaimana dampak ledakan bom atom. Saya seperti diajak mengikuti cerita dengan menyaksikan gambar-gambar, adegan-peradegan sejak sebelum ledakan bom, hingga ratusan hari setelahnya. Setelah lembar terakhir, saya merasa lenggang,…. pengarang seolah membiarkan saya berpikir, mempertimbangkan dan memilih.

Saya lantas teringat, bagaimana warga Hiroshima kebingungan dan cuma bisa menebak, bom jenis apa sebenarnya yang meledak. Mereka tidak tahu apa dampak dan resikonya dan bagaimana menghadapinya. Mereka tak tahu itulah bom atom. Konon, bahkan sang pembuat bom atom, Albert Einstein menyesal, setelah mengetahui penderitaan penduduk Hiroshima dari karya Jhon Hersey ini.

Pikiran saya berpindah ke negara sediri, Indonesia. Khususnya dengan menguatnya wacana mengenai energi beberapa tahun terakhir.

Jika dicermati, informasi utama mengenai nuklir yang tersedia, dan bisa diakses hingga lapisan bawah adalah iklan buatan pemerintah, ditayangkan berulang di televisi swasta. Iklan tersebut berisi dialog yang menggambarkan betapa bermanfaatnya energi nuklir. Warga tak perlu khawatir tehadap keamanannya.

Mungkin sah-sah saja upaya promosi gencar tentang manfaat suatu produk. Tetapi menjadi tidak etis dan tidak patut, jika publik tidak mendapatkan ruang dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi berimbang mengenai dampak dan resiko energi nuklir.

Sangat tidak patut membiarkan publik mengira bahwa negara kita sangat membutuhkan energi alternatif bernama nuklir, karena pasokan bahan dasar listrik terbatas. Padahal disaat yang sama batubara, minyak dan gas kita terus dijual ke pihak asing. Lebih dari 70% batubara kita digunakan untuk memasok kebutuhan negara lain.

Sama tidak patutnya membiarkan publik berpikir bahwa reaktor pembangkit nuklir sama dengan reaktor riset biasa milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Reaktor untuk keperluan riset sangat berbeda dengan reaktor pembangit energi. Publik juga tak diberi informasi mencukupi mengenai resiko terburuk jika terjadi kecelakaan pada reaktor nuklir, seperti yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet – yang dampak radiasinya mencapai 500 kali luasan kota Semarang. Dan korban kasus Chernobyl terus berjatuhan hingga hari ini.

Publik juga dibiarkan membayangkan julukan bangsa modern melalui reaktor nuklir, mengikuti jejak negara-negara maju, Amerika Serikat dan Eropa. Tanpa sedikitpun mengetahui, bahwa negara-negara di Eropa sedang memilih “phase out” atau lepas dari ketergantungan energi nuklir. Saat ini, mereka sedang berlomba menggunakan energi yang lebih terbarukan.

Membaca “Hiroshima”, membuat saya merindukan kehadiran jurnalis seperti John Hersey di Indonesia. Jurnalis yang dengan sabar menggali berita, menuliskan dan menyajikannya kepada publik. Tak hanya mendapat informasi alternatif, akurat, mudah dipahami dan tak menggurui, yang utama - publik mendapatkan bahan penting untuk mengambil keputusan bagi masa depannya. Misalnya, memutuskan bahwa uji coba bom atom selayaknya dihentikan, seperti yang disimpulan banyak orang setelah membaca karya Hersey.

Rabu, 09 Mei 2007

Style Guide dari The Economist

"The Economist", majalah seputar isyu terkini, menyisihkan beberapa halaman lamannya (web site) untuk style guide penulisan dalam Bahasa Inggris. Informasi yang singkat, padat, menarik. Bermanfaat bagi mereka yang sering menulis dalam Bahasa Inggris, dapat pula menjadi perbandingan rujukan bagi mereka yang sering menulis dalam Bahasa Indonesia.

Sebenarnya style guide terbitan majalah "The Economist" ini tidak gratis seharga 16,99 Poundsterling. Namun dalam halaman tentang "Style Guide", beberapa hal berikut dapat dilihat secara gratis:


* Introduction
- Metaphors
- Short words
- Unnecessary words
- Active, not passive
- Jargon
- Tone
- Journalese and slang
- Americanisms
- Syntax
* Some dos and don'ts
* Some common solecisms
* Abbreviations
* Accents
* Capitals
- People
- Organisations, acts, etc
- Places
- Political terms
- Historical periods
- Trade names
- Euro-terms
- e-expressions
- Miscellaneous (Upper case)
- Miscellaneous (Lower case)
* Figures
* Hyphens
* Italics
* Plurals
* Punctuation
- Apostrophes
- Brackets
- Colons
- Commas
- Dashes
- Full stops
- Inverted commas
- Question-marks
- Semi-colons
* Singular or plural?
* Spelling
- Common problems
- Miscellaneous
- People
- Places
* Titles


http://www.economist.com/research/styleguide/