Selasa, 26 Juni 2007

Daoed JOESOEF Bertutur
Oleh Melyyana F. Silalahi

Pertemuan itu sudah berlangsung lebih dari satu minggu yang lalu. Seorang bapak, seorang ibu dan serombongan tamu, peserta kursus narasi baik yang baru maupun kursus yang lalu.

Sabtu siang itu, kursus dilakukan di waktu yang berbeda, di tempat yang berbeda. Kali ini, sebuah rumah yang luas dan sangat asri di selatan Jakarta. Teras belakang yang merupakan tempat bekerja, sudah dirapikan menjadi tempat pertemuan sekitar 20 orang. Kursi-kursi diatur mengelilingi ruangan tersebut, dengan dua meja di tengah-tengah. Sabtu itu cerah, cenderung panas malah. Tidak ada AC di ruangan itu, hanya ada tiga kipas angin.

Di pojok, sebuah meja disiapkan sebagai tempat menaruh makanan. Setumpuk makanan kotak dari Hoka Hoka Bento yang sudah dipersiapkan Mba Fiqoh, kue coklat, kacang mete dari Kendari dan siomay bikinan Hagi ditempatkan di atas meja.

Masih bercerita tentang tulisan dan juga orang yang membuat tulisan itu. Kali ini, langsung berhadapan dengan penulis Emak, sebuah buku yang menggambarkan kearifan dan kebijaksanaan seorang ibu. Daoed JOESOEF penulis yang menjadi tuan rumah.

Berbicara dengan Pak Daoed, seperti bicara dengan "orang-orang dulu". Waktu ditanya Andreas apa kesanku terhadap Pak Daoed, aku harus mengambil waktu dan berkata,"disiplin."

Disiplin dalam segala hal, hal kecil, hal besar, dan terutama disiplin dalam menguraikan isi kepala. Bertutur. Ini ajaran Emak,"Jangan bertutur terlalu cepat, nanti terucapkan hal-hal yang belum kau pikirkan. Kau boleh mengatakan semua, tetapi ucapkanlah itu dengan teratur dan dengan bahasa yang jelas (halaman 92)." Pak Daoed mengulang ini dalam bincang-bincang kami siang itu.

Ini kelemahan terbesarku. Kalau berbicara, aku bisa loncat topik sesukaku. Detik ini bicara tentang makanan, detik kemudian berbicara tentang pesawat. Gak nyambung. Pernah ada seseorang mengkritik aku untuk itu, dan tidak aku perdulikan. Tokh, teman-temanku sudah tahu gaya bicaraku, itu pembelaanku.

Terkadang, ketika terlalu bersemangat, mulut terasa lambat bergerak. Jauh lebih lambat dari isi kepala. Saat seperti itu, aku ingin sekali bis menumpahkan semua sekali jadi. Lepas."Nih, baca dan lihat sendiri, barangkali itu yang ingin aku lakukan untuk bercerita.

Tapi tidak untuk Pak Daoed. Dua jam lebih dihabiskan oleh Pak Daoed untuk bertutur. Tentang banyak hal. Tentang buku. Tentang emak. Tentang Perancis. Tentang keluarga. Tentang rumah. Tentang pendidikan. Tentang banyak hal. Semua diungkapkan dengan penuturan yang disiplin, yaitu dengan teratur, jelas, dan sangat runtut.

Aku pikir, Pak Daoed orang yang bisa jadi sangat puitis, punya jiwa seni yang kuat, dan peka terhadap keindahan, dan punya kemampuan untuk merayu! Jangan berpikir buruk, karena aku pikir itu justru sesuatu yang indah. Aku pikir, laki-laki sebayaku bisa mati gaya dan kalah kata kalau harus bertarung dengan Pak Daoed untuk urusan itu. Tidak sekelas. Sangat jauh berbeda bahkan.

Ini yang membuat diskusi banyak diisi oleh gelak tawa. Juga respek! Ya, pertemuanku membuat aku menjadi sangat hormat padanya. Walaupun ada beberapa pemikiran dan tindakannya yang bisa jadi tidak aku sepakati, Pak Daoed bukan orang yang mengharamkan diskusi, proses dialektis dari berbagai pemikiran, yang berbeda sekalipun. Pak Daoed tegas, tapi bukan tanpa alasan. Tentunya, dengan bertutur.

Aku menemukan keindahan bahasa ibuku dalam Emak. Bahasa Indonesia, yang menurut Pak Daoed,"bahasa yang feminin." Aku menemukan keindahan bertutur melalui Pak Daoed.

Seperti ditulis pada halaman ix buku Emak, Daoed JOESOEF memang orang Indonesia pertama yang oleh Sorbonne dianugerahi gelar doktor tertinggi dari jenisnya yaitu Doctorat d'Etat atau doktor negara, dan dengan cum laude pula (Ini menjadi cerita lucu tersendiri, karena gelar beliau itu doktorandus - ada lebih dari satu gelar doktor - tapi di Indonesia gelar itu diberikan untuk strata S1, dan karena itu Pak Daoed lebih sering tidak menuliskan doktorandus). Tetapi, sosok itu menjadi begitu "kaya" bukan karena gelar semata, tetapi karena cinta dan kasih seorang Emak.

Kamis, 21 Juni 2007

Cerai

Oleh Siti Maemunah

Ratna namanya, tetangga sebelah rumah, saya biasa memanggilnya Kak Ratna meskipun dia tiga tahun lebih muda dari saya. Selasa malam lalu, dia digebukin suaminya - cuma gara-gara anak bungsunya meminta uang seribu Rupiah. Pakaiannya diangkut keluar dan dilempar ke got. “Jangan lagi pulang kerumah” kata suaminya.


Dia sebenarnya perempuan yang ceria, terlihat selalu bersemangat dan ramah. Wajahnya terlihat lebih tua dari usianya sekarang. Tak heran, dia harus merawat 5 anaknya, bersama suami yang setahun terakhir menganggur - kena PHK. Anak sulungnya baru kelas satu SMP. Bulan lalu, dia baru melahirkan anak kelimanya. Begitu si bungsu lahir, dia langsung dibawa pergi orang tua barunya - diadopsi.

Meski setahun lalu suaminya mulai sering melakukan kekerasan, plus ancaman talak satu, kak Ratna tak mau bercerai. “Saya tak mau berpisah dari anak-anak” katanya. “trus jika bercerai, bagaimana saya bisa menghidupi anak saya kelak?” tanyanya.

****
Andai Ratna punya penghasilan tetap sehingga tak bergantung pada keluarga dan suaminya, andai dia berpendidikan tinggi sehingga bisa mengimbangi silang kata suaminya, andai dia jago silat hingga bisa menangkis tamparan dan pukulan suaminya, andai dia hanya punya dua anak sehingga waktunya lebih luang dan tak takut menghadapi hidup berdua anaknya. Andai para tetangganya punya nurani sehingga mencegah suaminya saat melakukan kekerasan.

Sayangnya, Kak Ratna digebukin di hadapan 8 laki-laki muda tetangganya yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan keluarga. Sayangnya kak Ratna tak lulus SMA, beranak lima dan menjadi buruh cuci rumahan. Dia juga bukan jago silat dan punya suami tanpa peghasilan tetap.

****
“Pernikahan mestinya berpadunya pasangan bagaikan puzle, saling melengkapi, membuat nyaman - satu sama lain, di masa-masa paling buruk sekalipun”, katamu, terdengar indah.

“Jika kau siap menikah, maka kau juga harus berani bercerai” kata seorang teman.

Saya setuju dengannya, setelah banyak menyaksikan dan mendengar potret kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian disekitar, mulai di kampung halaman ditimur Jawa hingga kota Metropolitan ini. Yang terakhir minggu lalu, cerita Kak Ratna.

Mae - Ecosister, 18 Juni 2007

Kamis, 14 Juni 2007

Sabang, Aku Datang!

Oleh Mellyana Frederika Silalahi

Berbagi saja, ini bukan PR (deskripsi) karena itu belum dikerjakan. Ditugaskan bikin deskripsi kok yang ada malah cerita Aceh ya? Cerita ini ada juga di blogku.

Minggu ini, aku punya pekerjaan rumah untuk membaca “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono, “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah, “Panglima, Cuak, dan RBT” dan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, dan “Orang-orang Di Tiro” karya Linda Christanty.

Semua berbicara tentag Aceh dari berbagai sudut dan cara bercerita. Karya Chik Rini “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” sudah kubaca jauh-jauh hari, sewaktu aku membaca buku Jurnalisme Sastrawi, berbarengan dengan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah. Keduanya, bercerita banyak tentang Aceh sewaktu menjadi daerah operasi militer. Banyak bercerita tentang bentrokan GAM dan TNI. Peristiwa yang diceritakan Chik Rini diketahui secara umum, karena menyangkut wartawan media televisi, sedangkan Alfian Hamzah lebih banyak bercerita tentang suka duka tentara Indonesia di Aceh.

Tiga cerita lain aku baca selama seminggu ini. Masih tentang Aceh. Terkait dengan konflik yang terjadi selama tahunan di Serambi Mekah tersebut. Hanya ketika membaca “Republik Indonesia Kilometer Nol” aku teringat dengan Banda Aceh sebagai tempat tinggal selama sementara waktu,
Sekitar satu tahun yang lalu.

Ya, persis setahun lalu, aku sempat tinggal di Banda Aceh untuk beberapa waktu. Apa yang aku alami disana, berbeda dengan Alfian. Juga berbeda dengan Chik Rini, Linda dan Andreas, walaupun sebetulnya kondisi yang mereka tulis sangat berpengaruh dengan situasi di pertengahan 2006 itu.

Ceritaku saat itu malah lebih banyak mengenai berbagai tempat makan di Banda Aceh. Tsunami, telah membuat beberapa hal berbeda, walaupun tidak berarti masalah selesai. Justru, ada beragam masalah baru yang muncul.

Tapi aku ingin sekali bercerita tentang sesuatu yang berbeda. Tentang Sabang, yang memukau hati aku. Ya, tulisan Andreas membuat aku mengenang kunjungan singkatku ke Sabang.

Setelah tsunami, di saat ada begitu banyak orang dari berbagai tempat di pelosok bumi berkumpul di Banda Aceh, maka Sabang bagi mereka yang ada di Banda Aceh adalah seperti Bandung bagi orang Jakarta.

Setidaknya, itu yang aku rasakan.

Begitu datang di Banda Aceh, banyak orang yang aku temui mendorong aku ke Sabang. Karena,”tanggung, Mel, udah sampe sini kok gak ke Sabang,” belum lagi iming-iming,”disana menyenangkan gak kayak di sini (Banda Aceh),” dan terakhir tentu saja dorongan untuk mengunjungi Kilometer Nol.

Semuanya sebetulnya tidak membuat aku ngotot ke Sabang. Entah kenapa, tidak ada keinginan menggebu untuk melihat kilometer nol. Itu pikirku.

Diam-diam ke Sabang
Tapi aku tetap berangkat. Dengan rencana agak mendadak. Dengan agak sembunyi-sembunyi. Saat itu, aku butuh beristirahat. Aku sakit, diduga typhus, yang muncul dengan dugaan penyebab kebiasaan begadang dan makan tidak teratur tentunya. Sebagai orang yang biasa mendengar,”Mba gak pusing, tekanan darahnya hanya 90/60,” tentu saja kaget tidak kepalang waktu dikasih tahu bahwa kali itu tekanan darahku menjadi 130. Hmmm, beban perkerjaan yang tinggal 2 minggu sebelum berakhir? Bisa jadi.

Alasan butuh menyegarkan jiwa raga di saat tuntutan laporan sedang kencang-kencangnya menjadi alasan yang kuat untuk pergi ke Sabang. Tidak terlalu direncanakan, karena rencana terbaik untuk perjalanan ke Sabang adalah tanpa rencana.

Sebetulnya bukan tanpa rencana sama sekali, karena sehari sebelum rencana keberangkatan, yaitu hari Jumat, aku meminta supir dan kendaraan untuk berangkat duluan ke Sabang. Ini tips dari teman-teman yang sudah lebih lama tinggal disana. Maklum, perjalanan Banda Aceh – Sabang bisa ditempuh dengan dua kapal. Kapal pertama adalah kapal cepat yang berangkat.

Beberapa kali dalam sehari, tapi tanpa kendaraan. Kapal kedua, hanya berangkat satu kali sehari, kapal lambat yang membawa kendaraan.

Sejak ke Sabang menjadi salah satu kegiatan akhir pekan favorit para pekerja tsunami di Banda Aceh, sering sekali banyak mobil yang tidak bisa diangkut. Permintaan lebih besar daripada kemampuan membawa mobil. Bisa dibayangkan, kan! Belum lagi kalau ambil contoh mobil yang umum dipakai saat itu adalah mobil 4wheel, begitu istilahnya, untuk menggambarkan mobil-mobil besar, dengan roda besar yang tahan dengan banyak kondisi topografi dan jalanan hancur.

Alasan kedua kenapa aku tetap pergi kesana adalah iming-iming snorkelling dari beberapa teman. Membayangkanya membuat aku cukup nekad meninggalkan Banda Aceh dengan tumpukan pekerjaan untuk sejenak menghirup udara Sabang.

Hampir saja tidak jadi, waktu Bang Ramadan, supir kami, melapor kalau antrian sudah super panjang dan dia tidak dapat tempat di kapal laut Jumat sore ini. Sedih sekali. Tapi malam hari kami putuskan, tidak apa-apa. Bang Ramadan akan menyusul di Sabtu siang, dan kita bisa bertemu Bang Ramdan sore-sore Sabtu di kota.

Kami memutuskan itu, aku dan boss aku, Pak Ramli, Mba Okol, Mba Uli, Mas Aji, dan satu kawan lagi.

Sabtu pagi itu, kami harus bergegas ke pelabuhan karena Bang Ramadan harus mengantri sepagi mungkin. Bayangkan jam 8.30 kami sudah di pelabuhan, padahal Iwing, temanku yang lain, sudah bilang jadwal kapal jam 9.30 bukan jam 8.30. Iwing benar. Kami menghabiskan waktu di pelabuhan, melihat berbagai orang yang datang mengantri tiket ke Sabang.

Aku mencoba mengidentifikasi, mana pegawai BRR, mana pegawai NGO luar Aceh, mana orang yang pertama ke Sabang, mana yang memang orang Sabang yang pulang ke rumah setelah seminggu bekerja di Banda Aceh.

Kelompok BRR umumnya datang dalam jumlah besar, sebagian besar rombongan adalah orang dari Jakarta. Rambut mereka berwarna-warni, coklat terang dan burgundy adalah warna yang paling menonjol. Jangan heran, kalau aku bisa melihat warna rambut, karena tidak ada jilbab yang dipakai, kalaupun ada, selendang itu hanya diselempangkan. Jaga-jaga kalau ada polisi syariah barangkali. Belum lagi kacamata hitam besar, istilahku “kacamata segede bagong” bertengger di mata atau kepala mereka. Lengkap dengan sendal pantai yang cantik. Betul-betul pemandangan turis pantai.

Kelompok bule-bule NGO sudah kelihatan dari warna kulit mereka. Palingan bisa dibedakan yang sudah biasa ke Sabang dan yang baru pertama kali. Bule ini diantar supir dan tentu saja sudah ditunggu supir lain di seberang sana. Seragamnya juga mirip, celana selutut dengan baju kaos berlengan pendek. Ya, mereka punya sedikit kemewahan berpakaian, karena bisa berpakaian sedikit lebih terbuka dibandingkan orang-orang lokal.

Kelompok selanjutnya pekerja-pekerja seperti aku, datang dari berbagai lembaga yang begitu banyak jumlahnya di Banda Aceh. Ada yang datang dengan kendaraan roda empat berstiker nama lembaga, dan sedikit yang datang dengan angkutan umum atau kendaraan tanpa stiker. Aksen bicara dan pakaian tetap menjadi penanda bahwa aku bukan penduduk tetap Banda Aceh.

Kelompok terakhir adalah penduduk. Penampilannya berbeda. Datang bisa dengan motor becak, tapi juga ada juga yang datang dengan mobil berstriker. Stiker nama kantor mereka. Berarti mereka kerja di organisasi non-pemerintah.

Sabang, aku datang!
Kesan pertamaku, Sabang daerah perbukitan yang tenang.

Kesan kemudian setelah aku tiba di kota, Sabang menyenangkan. Sangat menyenangkan

Aku memulai perjalanan di kota, dan bukan ke Gapang, tempat favorit kunjungan para pekerja tsunami. Dan, kota Sabang mencuri hatiku.

Bayangkan gunung, bukit yang tinggi. Jalan kota yang naik turun karena topografinya. Jalan aspal yang mulus. Dengan pepohonan di kiri kanan, dan pemandangan teluk Sabang menyempil di sela-sela dedaunan. Pemandangan yang sudah dimulai setelah melewati pelabuhan. Air laut kebiruan mengintip dari sela-sela bukit-bukit. Angin semilir berhembus, agak hangat memang.

Begitu tiba di kota, rasanya begitu adem. Sungguh, tidak kalah dengan kota-kota kecil Eropa. Begitu tenang. Begitu damai. Berjalan kaki di pedestrian yang terawat, di kiri kanan jalan. Dari sebuah losmen kecil menuju ke pusat kota yang terletak lebih ke bawah. Losmen itu terletak di daerah cukup tinggi, perjalanan ke pusat kota terus menurun. Karena itu, aku dan teman-teman memutuskan untuk berjalan kaki saja. Menyenangkan sekali. Di satu titik, aku hanya ingin membaringkan tubuhku di rumput hijau yang segar itu, dengan langit dan dedaunan jauh di atas kepalaku, menjadi atapku.

Dan, pusat kota Sabang jauh lebih memukau. Ada satu ruas jalan dengan jajaran toko berderet rapi. Lantai trotoar dibuat dari ubin jaman dulu, yang berbentuk segi 5 berwarna abu-abu, atau terkadang hanya sekedar tegel abu-abu yang usianya lebih tua dari aku. Di beberapa lokasi, terdapat pohon yang membuat suasana teduh. Tidak terlalu bising karena tidak banyak kendaraan lalu lalang. Kemudian kami tahu, disini masih menganut istilah jam tidur siang. Tidak heran suasana siang itu relatif sepi.

Aku yang lapar memutuskan untuk makan disitu. Duduk di trotoar yang luas, di meja yang mampu menampung 8 orang yang lapar. Duduk sambil berfoto-foto. Turis banget.

Tidak terasa lebih dari satu jam kami habiskan disitu, tak lama ada kendaraan seorang teman datang menjemput. Kami bergegas. Gapang, menjadi tujuan selanjutnya.

Mengintip dunia bawah laut Gapang
Perjalanan kota ke Gapang memakan waktu lebih dari 1 jam. Kami melewati gunung, jalan berliku dengan bukan hanya pohon yang kami lihat tetapi juga monyet. Itu daerah yang banyak ditinggali monyet. Sudah tahu turis rupanya. Monyet-monyet ini berharap mendapatkan kacang atau pisang yang memang dijual di pinggir jalan. Ada trik khusus yang harus diketahui, untuk menghindari monyet tersebut terus menerus mengikuti mobil.

Untunglah mereka tidak terus menerus mengikuti kendaraan yang kami tumpangi. Setidaknya kami sempat berhenti dan mengambil foto di satu tanjakan. Foto aku dan teman-teman dengan latar belakang Teluk Sabang. Sedikit mengingatkanku dengan Danau Toba, bedanya ini bukan danau tapi laut. Hijau, putih dan biru.

Kami juga sempat berhenti di satu warung. Membeli rujak dan minum. Enak! Lagi-lagi sambil disuguhi pemandangan laut. Warungnya sendiri sangat sederhana. Terletak di sebuah pengkolan, agak tinggi, dengan kayu sederhana. Cukuplah untuk menahan hujan. Kursi sedikit miring, meja sedikit miring. Konstruksi memang dibuat secara sederhana. Di sebuah sudut, ada sebuah foto Sabang di masa jaya. Saat itu banyak kapal dari luar Indonesia berlabuh disana. Foto itu hitam putih, diambil dari sudut yang hampir sama dengan lokasi aku duduk saat itu. Kalau tidak salah, ada angka 1926 di atas foto tersebut. Sayang, itu hanya satu-satunya foto dan kami tidak bisa membelinya.

Foto itu, seperti foto pelabuhan yang ramai yang sering diperlihatkan film-film Holywood. Rasanya sulit membayangkan bahwa Sabang pernah begitu ramai sekian puluh tahun yang lalu. Kapal besar itu tidak hanya ada satu atau dua, tapi banyak sekali. Pemuda berusia di akhir 20-an itu tidak bisa bercerita banyak tentang foto itu, ia hanya banyak tersenyum.

Tidak jauh dari situ, kami mampir ke sebuah danau air tawar yang sedikit tersembunyi. Tantangan untuk berenang menyeberang tidak ditanggapi. Aku hanya terdiam menikmati keheningan yang begitu syahdu. Matahari terik sekali, tapi angin sejuk bertiup di tempat itu. Mengajak aku untuk menari bersama angin.

Gapang
Masuk ke wilayah Gapang, ada dua daerah yang agak terpisah. Daerah yang lebih menjorok ke dalam diperuntukan untuk para bule. Khusus untuk snorkelling. Untuk pertama kali, di Aceh, aku bisa mempergunakan celana pendek dan kaos tank top. Dengan modal masker, aku mulai mengintip ke bawah air. Hanya seputaran Gapang. Dan, oh, indah sekali. Ikan berwarna-warni, dan berbagai mahluk air begitu banyak. Airnya jernih sehingga aku bisa dengan mudah melihat mahluk karya Tuhan di dalam air tersebut. Sayang, aku tidak bisa mengingat nama-namanya. Satu yang aku ingat, bulu babi, aku harus hindari yang satu itu.

Selama aku bermain disana, ada seorang perempuan yang begitu aktif dan ceria. Ia bersama anjing-anjingnya, menghampiri orang-orang yang duduk-duduk di pantai. Umurnya barangkali sudah lebih dari 60 tahun. Badannya kurus. Tapi senyumnya lebar dan menawan. Dia lebih banyak mengajak bicara para bule yang ada disana.

Waktu terlalu cepat berlalu. Magrib segera datang, dan kami memutuskan untuk segera ke kota. Aku melihat sebagian besar pengujung pantai menginap di bungalow di seputaran pantai. Memang, pilihan itu adalah pilihan umum. Terutama bagi mereka yang memang mengejar kegiatan diving dan snorkeling di Gapang.

Mie Pangsit
Di kota, kami memutuskan untuk makan mie pangsit yang sudah direkomendasikan oleh seorang kawan. Rasanya? Enaksekali. Mie kuning dengan sedikit kuah yang gurih, ditemani pangsit. Tidak ada baso. Tidak ada seledri atau bawang. Ringan. Membuat aku ingin tambah satu piring lagi. Dan, memang aku tambah satu piring lagi. Bukan itu saja, tawaran makan seafood dibatalkan karena perut kenyang, dan aku memutuskan untuk beristirahat. Teman-teman yang masih bersemangat, memilih ikut nonton bersama. Ada acara Piala Dunia yang disiarkan langsung di sebuah televisi lokal. Mereka, berkumpul semua disitu.

Sabang membuat aku bukan hanya kenyang karena mie pangsit, tapi juga segar kembali. Beneran, deh.

Ini yang aku tulis sewaktu aku di Gapang:
Gapang, Sabang, 11 Juni 2006
Jam 11.15 siang

Siang ini, aku di pantai di Gapang, Sabang, Pulau lokasi nol kilometer Republik Indonesia.

Lautnya hijau kebiruan. Ada berbagai warna menghiasi laut di depan mataku. Warna hijau bening, terus menjadi biru, Satu dua perahu nelayan tertambat, menunggu mereka yang berkeinginan snorkelling agak ke tengah lautan. Beberapa perahu baru saja datang dengan serombongan orang, yang mungkin sudah pergi sejak pagi tadi. Melihat matahari pagi barangkali. Karena saat ini, matahari mudah menunjukkan kekuasaannya. Panasnya menyengat.

Tetapi aku tidak takut kepanasan (makasih sunblock mba’e). Karena ada keteduhan dari pohon-pohon waru di sepanjang pantai, memberiku ketenangan, kedamaian. Angin semeliwir, mengusap rambut-rambut kecilku yang tidak mampu diikat oleh jepit rambut ini. Rasanya nikmat, membelai mukaku, badanku, lenganku, kakiku. Semuanya. Begitu indah.

Suara debur ombak yang datang bergantian, bagaikan ada komando yang membuat mereka datang satu satu sesuai gilirannya, kadang terdengar sayup, kadang terdengar garang. Bertalu-talu mengajak aku untuk segera menjejakkan kakiku ke airnya, menyelusuri lebih jauh karang-karang di baliknya. Snorkeling.

Tapi matahari masih terlalu terik. Aku masih lebih memilih untuk tiduran. Beralaskan pasir putih yang dingin. Yang tiap tiap butirannya mengelus setiap senti kulitku. Butir-butir kasarnya seakan dengan lembut melemaskan setiap persendianku. Melepaskan setiap ketegangan yang selama ini ada di seluruh sendiku. Memaksa aku melepas setiap bebanku. Keluar melalui genggaman pasir putih ini.

Aku menutup mata, menikmati semua. Air hijau kebiruan yang bening ini. Langit biru luas ini. Debur ombak ini. Angin semiliwir ini. Keteduhan ini. Pasir putih ini.

Aku menutup mata, memulai tombol “record”. Suatu saat, pasti akan kuputar kembali, untuk membawaku kembali ke ketenangan ini.

Selasa, 12 Juni 2007

Kabar dari Molo

Oleh Siti Maemunah

Kamis malam, tujuh Juni tepatnya - saya bertemu Maleta. Dia datang ke Jakarta, bersama dua puluh tiga orang dari berbagai pulau di Indonesia. Mereka memberikan kesaksian dihadapan Hina Jilani, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Pembela HAM. Maleta mewakili kelompok pembela Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dan masyarakat adat yang banyak mendapatkan ancaman dan kekerasan saat menjalankan upaya-upaya pembelaan HAM didaerahnya.

Sejak tahun lalu, Maleta terus menerus diintimidasi oleh preman yang mendatangi rumahnya, juga ancaman pembunuhan keluarga, rumah dilempari batu, pemukulan di Pengadilan Negeri So'e, hingga upaya pembunuhan oleh 30 orang preman pas tengah malam, dua bulan lalu. Untunglah dia berhasil meloloskan diri dan selamat. Berkali-kali dia meminta perlindungan Polisi, tetapi tak banyak membantu. Akhirnya dia meninggalkan rumahnya di So'e, hijrah ke Kupang, lantas pindah ke kampung terpencil sekitar pegunungan Molo.

Nama lengkapnya Aleta Ba’un, - perempuan Timor, berumur 41 tahun, biasa dipanggil mama Leta atau Maleta. Dia adalah ibu dari dua orang balita. Sudah sejak lama dia memutuskan berjuang buat kehidupan warga disekitar kampungnya. Kampung yang berada disekitar batuan raksasa sepanjang daerah pegunungan Molo, yang memanjang dari Timur ke barat kepulauan Timor, Nusa Tenggara Timur.

Gunung-gunung batu itu dalam bahasa setempat disebut sebagai ‘fatu’ atau ‘faut’ , artinya bukit batu. Sembilan tahun lalu, gunung batu tersebut mulai disebut-sebut sebagai gunungan batu marmer oleh pemerintah dan pengusaha tambang. Cadangan atau deposit marmer di pulau Timor dan Flores diperkirakan sekitar 3,5 triliun meter kubik (Kompas, 18/12/2003). Dua-duanya memiliki keinginan yang sama, bagaimana gugusan gunung batu itu bisa digali, ditambang, dipotong menjadi petak-petak kubus raksasa berwarna putih, dan dijual ke Jawa. Untuk dibentuk menjadi peralatan rumah tangga. Banyak perusahaan telah memiliki ijin menambang batuan Marmer disana, meskipun rakyat sekitar berkeras menolak.

Padahal, kata Maleta " Fatu-fatu tersebut merupakan tali hubung kami dengan leluhur, dengan nenek moyang, dengan alam, sumber air, bahkan lahan bawang dan wortel. Itulah sebabnya gunung-gunung batu tersebut punya nama, mulai yang terbesar dan tertinggi, terlihat kukuh dikejauhan bernama Fatu Naususu – Anjaf – Nanjaf di desa Fatukoto, Fatu Peke di desa Tune, Fatu Pe’ di desa Fatumnutu, Fatu Nua Molo di desa Ajaobaki, Fatu Naitapan di desa Tunua, Fatu Faenman – Fautlik di desa Fatumnasi” paparnya.

"Batuan tersebut adalah ritus adat orang Molo. Dibawah batu, kami menemukan berbagai peninggalan nenek moyang, mulai senjata sampai perkakas upacara. Di kaki gunung batu kami mendapatkan sumber-sumber air yang menyediakan air hingga musim kemarau. Gunung batu ini juga menjaga lahan dan rumah warga dari terpaan angin keras dimusim kemarau, dan hujan deras serta erosi yang tinggi dimusim hujan " tambahnya.

Sekitar sembilan puluh persen penduduk Molo bekerja sebagai petani dan peternak. Dalam catatannya selama mendampingi orang Molo di desa Tune Bonleu, Hans Syaranamual (2006) mengungkapkan bagaimana kearifan Orang Molo memandang sumber daya alamnya. Pandangan dan penilaian orang Molo terhadap alam semesta dan tempat tinggalnya menjelma dalam filosofi ‘Uim Bubu’ (ume – rumah) yang berdiri kokoh dengan amnesat, nij, dan tefi.

Filosofi diatas menggambarkan pemahaman mereka terhadap ruang hidup. Amnesat berarti dasar atau fondasi, diibaratkan sebagai oekanaf (air) yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (batu dan kayu). Nij adalah tiang, diibaratkan sebagai afu (tanah) yang merupakan tempat untuk bertanam, beternak, dan perumaha. Dan Tefi berarti atap, diibaratkan sebagai pena nok ane (jerih payah) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, dan afu.

Pandangan dan penilaian diatas mengandung makna kosmis, bahwa kehidupan orang Molo tidak bisa dipisahkan dari tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di dalamnya. Dalam hutan ada tempat ritus, ada pohon lebah, ada batu bernama – air bernama. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut. Bila tidak ada batu berarti kehilangan tulang, ada batu berarti ada air, manusia tidak bisa hidup tanpa batu, air, kayu, dan tanah.

Orang Molo mengelola sumber daya alamnya berdasarkan fungsi-fungsi pemanfaatan dan perlindungan. Pemanfaatan hutan dipahami sebagai upaya ‘muep’ (kelola) dan ‘panat’ (lindungi). Pemanfaatan ruang kelola rakyat dilakukan pada wilayah-wilayah yang telah disepakati dan ditetapkan oleh leluhur dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan rakyat saat itu. Mereka membagi fungsi-fungsi ruang kelola menjadi naistala, Auf suf . ‘Naistala’ atau hutan larangan, merupakan kawasan hutan yang harus dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Di dalam wilayah ini terdapat fatukanaf – oekanaf , sebutan untuk ritus adat yang terbuat dari batu dan kayu, juga oemataf atau sumber mata air. ‘Auf Suf’ adalah tanah adat, yakni wilayah dalam batas-batas tertentu yang diakui oleh suku-suku tertentu yang diperuntukkan sebagai wilayah amonet atau padang penggembalaan, hau one atau pohon lebah, sopu atau perkebunan, uim bala atau pemukiman.

Dari Fatu Nausu ke Fatu Lik

Meskipun sering mendengar nama Maleta, tapi baru empat tahun lalu pertama kali saya bertemu dengannya. Waktu itu, dia baru melahirkan anak keduanya. Kami berkenalan diantara asap mengepul disebuah dapur kecil di rumahnya, di So'e. Dia sedang duduk sambil menggendong bayi perempuannya. Didepannya sebuah belanga mengepulkan uap putih berbau ramuan. Asap dari tumpukan kayu yang terbakar dibawah belanga memenuhi ruangan kecil tersebut. Saya hampir tak bisa melihat wajahnya. Dia perempuan kurus, berkulit gelap dengan tinggi tak lebih dari 155 cm, dan kelihatan lebih tua dari umurnya.

Saat itu, Maleta baru berhenti bekerja di disebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) okal di So'e. Dia mengambil keputusan tersebut agar memiliki waktu lebih banyak bekerja bersama warga dikampungnya. Tidak lagi dibatasi oleh tugas-tugas programatik di lembaga tempatnya bekerja, yang kadang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Dia memilih kembali ke kampungnya di Nausus, batu paling tinggi itu sedang terancam.

Fatu Naususu hampir lolos ditambang pengusaha dari Jakarta, PT Sagared namanya. Perusahaan ini dimiliki tersangka utama pembobol Bank Negara Indonesia, Maria Pauline Lumowa. Penolakan terus menerus oleh warga dan kasus korupsi yang menimpa pemilik perusahaan, membuat pertambangan ini gulung tikar.

Awal Januari lalu, saya datang ke Molo - tepatnya di kampung Fatumnasi. Waktu itu warga Fatumnasi dan tetangganya, Kuanoel sedang mengadakan doa bersama, untuk memperingati Hari Natal dan keselamatan warga dan Batu. Malam hari kami datang ke lokasi tambang, menyalakan lilin dan berdoa bersama untuk keselamatan warga dan fatu.

Di desa Fatumnasi dan Kuanoel ini berdiri gunungan batu yang bernama Fatu Lik dan Fatu Ob. Diantara dua gunungan batu tersebut terhampar lahan padi, bawang, wortel, sawi dan sayuran lainnya, juga hamparan rumput bagi hewan ternak. Dikaki gunung batu terdapat perkampungan warga. Warga dua desa tersebut sedang berduka, beberapa bagian gunung batu mereka telah dipotong oleh pengusaha tambang dari Surabaya, masih keluarga dekat Bupati So'e. Bupati berkeras mengeluarkan ijin penambangan dengan alasan perusahaan akan memberikan pemasukan bagi daerah. Tak kalah dengan kekerasan bupatinya, warga dua desa tersebut juga mati-matian menolak gunung batu mereka ditambang.

Warga tak bisa melupakan bagaimana desa tetangganya, Tunua – menjadi kesulitan air sejak gunung batunya, Fatu Naitapan - mulai dikeruk pada tahun 2003 oleh PT Sumber Alam Marmer (SAM). Perusahaan mengekspor tungku perapian dan lantai marmer ke Amerika Serikat, China, Singapura, dan Korea Selatan. Warga mengeluhkan sulitnya mendapatkan air sejak tambang dibuka. Warga harus mencari sumber air lebih jauh. Lahan pertanian juga menyempit, sekitar 25 hektar diantaranya masuk kawasan pertambangan. Sepajang dua tahun terakhir sebelum ditolak warga, PT SAM bahkan mengambil air dari desa Fatumnasi dimusim kemarau. .

Warga Fatumnasi dan Kuanoel tak mau desanya bernasib sama. Mereka menduduki kawasan tambang hingga satu bulan lamanya. Akhirnya, PT Tedja Sekawan menghentikan operasinya. Pada saat blokade, warga harus meninggalkan rumah, dan memindahkan kegiatannya ke lokasi tambang. Mereka mencari bibit dan menanami lahan-lahan yang dibuka paksa oleh perusahaan. Bapak-bapak dan para pemuda membuat lubang, sementara perempuan mengumpulkan bibit tanaman dan memasukkan kedalamnya. Ada tanaman pisang, Jarak, Gemilina - juga jenis-jenis tanaman lokal yang mudah tumbuh. Mama-mama membawa alat tenunnya dan menenun kain, juga memasak disana. Anak-anak bermain bersama dekat sumber air yang banyak mengalir dikaki gunung batu. Tetapi, para keluarga harus bergantian pulang untuk mengolah lahannya agar tetap berproduksi.

Kedatangan ke Fatumnasi membuat saya merenung panjang, memikirkan kembali apa arti sebuah negara dan pemerintahan. Saya membayangkan begitu susahnya menjadi warga negeri kepulauan ini, jika harus mengalami masalah seperti warga Fatumnasi dan Kuanoel.

Bayangkan saja, mereka tak menuntut banyak dari pemerintah, padahal mereka rajin membayar pajak. Listrik belum masuk, gereja mereka bangun sendiri, jalanan rusak dikampung juga tidak diperbaiki, pukesmas pembantu hanya ada di kecamatan - yang kadang dokternya pulang ke kota saat warga membutuhkan. Warga juga harus menyediakan transpotasi sendiri jika ingin menjual hasil pertanian ke kota. Mereka juga harus menghadapi harga-harga barang yang membumbung tinggi saat BBM naik dua tahun lalu. Pendeknya, mereka harus bertahan hidup tanpa campur tangan pemerintah. Dengan lahan yang ada, sumber air yang tersedia, mereka harus bisa bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Lantas, tanpa sepengetahuan mereka, tiba-tiba Bupati menjatuhkan vonis. Sekitar 30 hektar lahan mereka diberikan kepada pengusaha tambang. Ada sekitar 103 keluarga yang bakal kehilangan lahan. Tak hanya itu, sumber-sumber air yang mengalir dibawah gunung batu juga terancam kering jika batuan tersebut dibongkar dan dihilangkan.

Sejak itu, beban hidup warga bertambah, kesibukan mereka bertambah. Mereka harus meluangkan waktunya untuk rapat bersama, mengumpulkan uang untuk datang ke kota bertemu Bupati, anggota Dewan perwakilan Rakyat Daearah kabupaten So'e hingga propinsi di Kupang. Mereka harus meninggalkan rumah, melakukan perjalanan selama tiga jam dan menginap di depan gedung pemda lebih dari sebulan untuk minta berdialog dengan Bupati.

Di kampung, mereka harus bergantian jaga malam dengan rasa was-was sejak perusahaan mengirim puluhan preman mengganggu ketenangan warga. Tak hanya itu, kekerasan menjadi bagian yang harus dihadapi oleh warga setiap saat. Salah satu korbannya adalah Bapak Yosaphat (45 th) - dia harus mengalami perawatan serius, kakinya dibacok oleh salah seorang buruh PT Tedja Sekawan. Bahkan peristiwa tersebut terjadi dihadapan Polisi, saat blokade dilokasi tambang. Ironisnya, beliau malah dituduh menjadi penyebab kerusuhan dan ditangkap, dan diadili di Pengadilan Negeri So'e. Hingga sekarang dia dan warga tidak mengerti mengapa dia yang ditangkap, padahal para preman dan uruh perusahaan yang memulai pertikaian tersebut.

Hmm .. lantas apa gunanya kita memilih menjadi warga negara? Alih-alih mendapatkan kesejahteraan, kita bahkan harus pontang-panting bertahan hidup, diganggu terus menerus oleh pemerintah sendiri, sang pengurus negara. Produktivitas hidup terganggu, bahkan keselamatan jiwapun terancam. Bukankah pengurus negara harusnya menjalankan mandat rakyatnya. Untuk melindungi dan mensejahterakan mereka, seperti yang tercantum dalam konstitusi negara?

Saya tak tahu banyak tentang sejarah Aceh dan Papua, hingga muncul keinginan berpisah dari Indonesia. Pasti keinginan untuk berpisah dari sebuah negara, tak lepas dari hal-hal diatas – ketidakadilan yang terus menerus muncul, berulang, tak menemukan jawaban, yang pada akhirnya berujung kepada keinginan lepas, berpisah dari negara.

"Saya masih harus tinggal di Naususu Mbak. Dua hari lalu, rumah kami kembali didatangi preman dan mulai dilempari batu lagi" Kata Maleta, kamis malam - tujuh Juni tepatnya, saat bertemu dengannya di Jakarta. Dia tidak tahu apakah kesaksiannya di depan Hina Jilani, sang wakil khusus PBB - akan memberi manfaat buat masalah yang sedang dihadapi warga Fatumnasi dan Kuanoel.

"Dua minggu lalu Pak Yosaphat divonis delapan bulan oleh pengadilan negeri So'e" tambahnya, sebelum kami berpisah pagi harinya. Jum'at itu dia harus kembali ke So'e.

Jakarta, 10 Juni 2007.

Rabu, 06 Juni 2007

Kunjungan ke Daoed Joesoef

Mohon perhatian rekan-rekan kelas Narasi yang ingin ikut diskusi di rumah Daoed Joesoef di Kemang pada 16 Juni 2007 agar datang tepat waktu pukul 10:00. Pak Daoed orangnya disiplin. Dia kurang suka orang terlambat.


Kami sendiri akan datang setengah jam lebih awal. Kami akan membantu mengatur ruangan (kursi, meja makan dan lainnya). Soal detail alamat, mohon diperhatikan dalam silabus serta peta. Ancar-ancar adalah TK Kepompong, ada jalan masuk sebelahnya. Rumah keluarga Joesoef terletak persis di SD Kupu-kupu. Sekolah ini memakai ruangan dalam kompleks rumah keluarga Joesoef.

Mohon buku karangan beliau, Emak, yang sudah kami bagikan, dibaca lebih dulu. Kita akan diskusi banyak soal buku ini.

Terima kasih.

Siti Nurrofiqoh
Pantau Jakarta

Selasa, 15 Mei 2007

Membaca Hiroshima


Oleh Siti Maemunah Mampang

Sebelumnya, saya tak pernah berhasil membayangkan sedahsyat apa ledakan sebuah bom atom. Di bangku Sekolah Menengah, pertama kalinya saya berkenalan dengan cerita bom atom pertama didunia yang meledak di Jepang, tepatnya di kota Hiroshima dan Nagasaki, pada bulan Agustus 1945. Bom yang dinamai “Little Boy” oleh pembuatnya - Amerika Serikat, meluluh lantakkan kota tersebut.

Pagi ini, setelah membaca “Hiroshima” karya John Hersey, bacaan wajib sebelum mengikuti kelas kursus menulis malam nanti. Saya jadi bergidik membayangkan bagaimana kematian, kesakitan hingga depresi jangka panjang dialami oleh penduduk Hiroshima akibat ulah "paman Sam" dan “Little Boy”nya ini.

“Hiroshima” menceritakan apa yang terjadi di kota Hiroshima akibat bom atom dijatuhkan. Hersey menceritakannya dengan detil menawan, dari sudut pandang dan kejadian yang dialami enam warga kota tersebut. Mereka adalah perempuan lajang karyawan Departemen Asia Tin Workers, dokter yang memiliki sebuah Rumah Sakit swasta, janda seorang penjahit, pendeta asal Jerman, karyawan sebuah Rumah Sakit dan seorang Pastor.

Tulisan di mulai dengan menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh enam warga tersebut, beberapa jam menjelang bom di jatuhkan di kota mereka. Cerita mengalir bagaikan adegan-adegan film, memaparkan apa yang mereka alami dan rasakan disaat hingga setelah bom meledak. Kepanikaan penduduknya, suasana kota yang terbakar dan panas dan lenggang.

Sekitar seratus ribu orang diberitakan terbunuh, puluhan ribu lainnya dinyatakan hilang dan mengalami luka serius. Sebagian besar mahluk hidup ataupun benda mati pada jarak sekitar lima kilometer dari pusat ledakan mengalami luka bakar hingga meleleh. Belakangan para ilmuwan Jepang mengetahui, ledakan tersebut menghasilkan panas mencapai 6000 derajat celcius.

Pasca ledakan bom adalah masalah berat lain yang harus dihadapi mereka yang selamat. Mereka harus menghadapi kematian anak, kehilangan suami dan harta benda yang musnah selamanya. Mereka menyaksikan tetangga mereka terbakar, tubuh dan mukanya meleleh. Mereka juga menyaksikan banyaknya mayat terapung di sungai Koi. Tanpa mengetahui apa yag sebenarnya terjadi, bom apa yang dijatuhkan. Mereka hanya tahu begitu banyak kerusakan dan sedikit orang yang selamat.

Tak hanya itu, warga Hiroshima yang berada diluar radius 5 kilometer, harus menderita sakit berkepanjangan akibat radiasi ledakan bom tersebut. Banyak juga akhirnya meninggal akibat penyakit yang timbul karena radiasi tersebut. Sepuluh hingga lima belas hari setelah ledakan, mereka merasakan rambut mereka rontok. Sepuluh hingga lima belas hari berikutnya, mereka mulai mengalami gangguan pendarahan (blood disordered). Mulai gusi berdarah hingga jumlah sel putih menurun drastis. Kondisi tersebut membuat sang pasien sangat rentan terhadap infeksi kuman atau penyakit lainnya. Pasien dengan jumlah darah putih dibawah seribu bisa dipatikan makin menipis harapannya untuk hidup.

Jika penderita bertahan sebulan setelah ledakan, tubuh mereka harus berjuang bertahan dari rasa sakit berikutnya. Dalam beberapa kejadian, jumlah darah putih penderita tak kembali normal, bahkan meningkat diatas normal. Kali ini mereka harus berhadapan dengan penyakit komplikasi, seperti Keloid tumor. Umur mereka bergantung kepada ketahahan tubuh dan jumlah radiasi dalam tubuhnya.

Hersey dan Indonesia

Wuih … terus terang, saya “lelah” membayangkan banyak penderitaan yang diceritakan “Hiroshima”, yang ternyata tak cukup dirangkum dengan kata “luluh lantak”, seperti saya dapatkan dibangku sekolah. Tetapi, itu tak membuat saya berhenti membaca. Mungkin karena inilah cerita detil terlengkap yang pernah saya baca mengenai dampak ledakan bom atom pertama didunia. Mungkin karena sudut pandang paparan Hersey yang humanis, lengkap dengan paparan bagaimana budaya dan cara pandang orang Jepang menghadapi bencana tersebut.

Karya Hersey ini sama sekali tidak menggurui saya tentang apa dan bagaimana dampak ledakan bom atom. Saya seperti diajak mengikuti cerita dengan menyaksikan gambar-gambar, adegan-peradegan sejak sebelum ledakan bom, hingga ratusan hari setelahnya. Setelah lembar terakhir, saya merasa lenggang,…. pengarang seolah membiarkan saya berpikir, mempertimbangkan dan memilih.

Saya lantas teringat, bagaimana warga Hiroshima kebingungan dan cuma bisa menebak, bom jenis apa sebenarnya yang meledak. Mereka tidak tahu apa dampak dan resikonya dan bagaimana menghadapinya. Mereka tak tahu itulah bom atom. Konon, bahkan sang pembuat bom atom, Albert Einstein menyesal, setelah mengetahui penderitaan penduduk Hiroshima dari karya Jhon Hersey ini.

Pikiran saya berpindah ke negara sediri, Indonesia. Khususnya dengan menguatnya wacana mengenai energi beberapa tahun terakhir.

Jika dicermati, informasi utama mengenai nuklir yang tersedia, dan bisa diakses hingga lapisan bawah adalah iklan buatan pemerintah, ditayangkan berulang di televisi swasta. Iklan tersebut berisi dialog yang menggambarkan betapa bermanfaatnya energi nuklir. Warga tak perlu khawatir tehadap keamanannya.

Mungkin sah-sah saja upaya promosi gencar tentang manfaat suatu produk. Tetapi menjadi tidak etis dan tidak patut, jika publik tidak mendapatkan ruang dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi berimbang mengenai dampak dan resiko energi nuklir.

Sangat tidak patut membiarkan publik mengira bahwa negara kita sangat membutuhkan energi alternatif bernama nuklir, karena pasokan bahan dasar listrik terbatas. Padahal disaat yang sama batubara, minyak dan gas kita terus dijual ke pihak asing. Lebih dari 70% batubara kita digunakan untuk memasok kebutuhan negara lain.

Sama tidak patutnya membiarkan publik berpikir bahwa reaktor pembangkit nuklir sama dengan reaktor riset biasa milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Reaktor untuk keperluan riset sangat berbeda dengan reaktor pembangit energi. Publik juga tak diberi informasi mencukupi mengenai resiko terburuk jika terjadi kecelakaan pada reaktor nuklir, seperti yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet – yang dampak radiasinya mencapai 500 kali luasan kota Semarang. Dan korban kasus Chernobyl terus berjatuhan hingga hari ini.

Publik juga dibiarkan membayangkan julukan bangsa modern melalui reaktor nuklir, mengikuti jejak negara-negara maju, Amerika Serikat dan Eropa. Tanpa sedikitpun mengetahui, bahwa negara-negara di Eropa sedang memilih “phase out” atau lepas dari ketergantungan energi nuklir. Saat ini, mereka sedang berlomba menggunakan energi yang lebih terbarukan.

Membaca “Hiroshima”, membuat saya merindukan kehadiran jurnalis seperti John Hersey di Indonesia. Jurnalis yang dengan sabar menggali berita, menuliskan dan menyajikannya kepada publik. Tak hanya mendapat informasi alternatif, akurat, mudah dipahami dan tak menggurui, yang utama - publik mendapatkan bahan penting untuk mengambil keputusan bagi masa depannya. Misalnya, memutuskan bahwa uji coba bom atom selayaknya dihentikan, seperti yang disimpulan banyak orang setelah membaca karya Hersey.

Rabu, 09 Mei 2007

Style Guide dari The Economist

"The Economist", majalah seputar isyu terkini, menyisihkan beberapa halaman lamannya (web site) untuk style guide penulisan dalam Bahasa Inggris. Informasi yang singkat, padat, menarik. Bermanfaat bagi mereka yang sering menulis dalam Bahasa Inggris, dapat pula menjadi perbandingan rujukan bagi mereka yang sering menulis dalam Bahasa Indonesia.

Sebenarnya style guide terbitan majalah "The Economist" ini tidak gratis seharga 16,99 Poundsterling. Namun dalam halaman tentang "Style Guide", beberapa hal berikut dapat dilihat secara gratis:


* Introduction
- Metaphors
- Short words
- Unnecessary words
- Active, not passive
- Jargon
- Tone
- Journalese and slang
- Americanisms
- Syntax
* Some dos and don'ts
* Some common solecisms
* Abbreviations
* Accents
* Capitals
- People
- Organisations, acts, etc
- Places
- Political terms
- Historical periods
- Trade names
- Euro-terms
- e-expressions
- Miscellaneous (Upper case)
- Miscellaneous (Lower case)
* Figures
* Hyphens
* Italics
* Plurals
* Punctuation
- Apostrophes
- Brackets
- Colons
- Commas
- Dashes
- Full stops
- Inverted commas
- Question-marks
- Semi-colons
* Singular or plural?
* Spelling
- Common problems
- Miscellaneous
- People
- Places
* Titles


http://www.economist.com/research/styleguide/

Senin, 30 April 2007

Silabus Narasi Angkatan Kedua

Kursus “Narasi” angkatan kedua ini (1 Mei-28 Agustus 2007) dirancang untuk orang yang ingin belajar menulis panjang dengan memikat dan mendalam. Ini dirancang mereka yang berminat menulis esai atau buku nonfiksi.

Kursus diadakan selama 18 sesi dengan frekuensi mingguan, petang hari (pukul 19.00-21.00), kecuali pada sesi Daoed Joesoef. Cara mingguan ini sengaja dibuat agar peserta punya waktu mengendapkan materi belajar, mengerjakan pekerjaan rumah serta membaca. Jumlah peserta maksimal 20 orang agar ada waktu diskusi. Kursus ini ditekankan pada banyak latihan.

Tugas akhirnya berupa penulisan sebuah narasi sekitar 5.000 kata. Ia dilakukan sesudah peserta berlatih melakukan riset, liputan, wawancara, dan menulis. Jumlah kata sekadar pegangan saja. Ia bisa lebih pendek atau panjang lagi. Peserta akan membaca dan membicarakan karya-karya Joseph Mitchell, Truman Capote, John Hersey, dan Ryszard Kapuscinski.

INSTRUKTUR

Andreas Harsono wartawan Jakarta, pernah bekerja di harian The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia menang beberapa penghargaan internasional antara lain The Correspondent of the Year dari The American Reporter (1997) serta Nieman Fellowship dari Universitas Harvard (1999-2000). Dia co-editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005). Kini ia sedang menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Budi Setiyono wartawan Jakarta, pernah bekerja untuk Suara Merdeka (Semarang) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia jadi co-editor buku Revolusi Belum Selesai yang berisi kumpulan pidato politik Presiden Soekarno serta Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini ia sedang menyelesaikan buku soal Lembaga Kebudayaan Rakyat.

SYARAT DAN BIAYA

Peserta terbiasa dengan dunia tulis-menulis. Entah menulis di blog, makalah, buku harian atau media. Mereka juga terbiasa melakukan riset dan akrab dengan internet. Latar belakang bisa dari berbagai disiplin ilmu, minat atau profesi. Angkatan pertama terdiri dari aktivis, wartawan, dokter, pengacara, mahasiswa, dosen, manajer NGO dan sebagainya. Peserta juga lancar membaca naskah dalam bahasa Inggris karena banyak materi kursus dari bahasa Inggris. Peserta dikenakan biaya Rp 4 juta.

SILABUS

Sebelum memasuki hari pertama, sebaiknya Anda sudah membaca Resensi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” oleh Andreas Harsono (kalau tertarik baca bukunya The Elements of Journalism atau versi Indonesia Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel)


SESI PERTAMA (1 Mei 2007)
Perkenalan, pembicaraan silabus dan diskusi soal jurnalisme dasar, isu tentang “objektivitas” wartawan dengan membahas “Sembilan Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel serta membandingkannya dengan praktik jurnalisme di Jakarta a.l. byline, firewall, advertorial. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono; edisi jurnal Nieman Reports edisi Spring 2002 Volume 56 No. 1 tentang narrative journalism. Bacaan Nieman ini cukup tebal. Ini penting guna tahu sejarah dan perdebatan soal genre ini di Barat.

SESI KEDUA (8 Mei 2007)
Diskusi soal jurnalisme sastrawi, bagaimana Tom Wolfe memulai gerakan ini di Amerika Serikat pada 1960-an dan bagaimana suratkabar-suratkabar Amerika mengambil elemen-elemen genre ini. Diskusi tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.” [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Hiroshima” oleh John Hersey dan “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”oleh Bimo Nugroho. Usahakan baca John Hersey hingga selesai. Bacaan dari Bimo Nugroho membantu memahami “Hiroshima.”

SESI KETIGA (15 Mei 2007)
Diskusi soal struktur dengan contoh “Hiroshima” karya John Hersey. Ini sebuah karya klasik, dimuat majalah The New Yorker pada Agustus 1946, yang pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad XX. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Siapkan ide laporan yang akan dijadikan tulisan panjang; bisa dari pengalaman, bahan bacaan, dll. Ide ini bisa atau malah sebaiknya dipakai untuk setiap tugas dalam tiap sesi. Hasil akhirnya sebuah naskah panjang pada akhir kursus. Setiap peserta sangat diharapkan mengerjakan ide laporan panjang ini.

SESI KEEMPAT (22 Mei 2007)
Diskusi menggali, mengembangkan, dan menajamkan ide laporan, serta menemukan fokus dan angle. Setiap peserta akan presentasi ide masing-masing, dan dibahas bersama-sama; baik dari kebaruan ide maupun cara kerjanya. Setiap sesi bisa empat hingga lima orang. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Matangkan ide laporan Anda. Perbanyak riset dan wawancara background untuk memperkuat ide liputan. Tuangkan ide Anda dalam sebuah outline yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

SESI KELIMA (29 Mei 2007)
Diskusi lanjutan. [Budi Setiyono]

SESI KEENAM (5 Juni 2007)
Diskusi lanjutan. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono, ”Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah, ”Panglima, Cuak, dan RBT” dan ”Sebuah Kegilangan di Simpang Kraft” karya Chik Rini, dan ”Orang-orang Di Tiro” karya Linda Christanty.

Pekerjaan rumah kedua: Perhatikan sesuatu, lakukan wawancara dan buatlah sebuah deskripsi pendek, sekitar 200 kata saja. Kita akan membacakan empat atau lima karya ini pada pertemuan berikutnya. Ini untuk melatih peserta membuat deskripsi.

SESI KETUJUH (12 Juni 2007)
Diskusi soal struktur karangan dengan melihat lima tulisan tentang Aceh dikerjakan empat orang berbeda. Tujuannya, bagaimana sebuah isu sama dikerjakan dengan sudut pandang dan metode beda-beda. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: bacalah karya Daoed Joesoef dalam buku Emak dan Aku dan Dia (hanya bab ”Monsieur Courazier dan Aku”). Joesoef seorang cendekiawan didikan Sorbonne, Paris. Dia pernah jadi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Menteri Pendidikan rezim Presiden Soeharto. Orangnya sangat disiplin. Please don’t be late!

SESI TAMBAHAN (Sabtu, 16 Juni 2007 pukul 10:00-12:00)
Diskusi dengan Daoed Joesoef tentang penulisan buku-bukunya di rumahnya, Jl. Bangka Dalam VII No. 15 telepon 7190431). Isterinya, Sri Soelastri Joesoef, akan menemani. Diskusi akan diakhiri dengan makan siang bersama di rumah asri keluarga Joesoef.

Pekerjaan rumah: Bacalah ”The Riverman” Joseph Mitchell lalu buatlah sebuah deskripsi pendek, sekitar 200 kata saja. Kita akan membacakan empat atau lima karya ini pada pertemuan berikutnya. Mitchell salah satu penulis yang terkenal dengan pengamatannya terhadap detail.

SESI KEDELAPAN (19 Juni 2007)
Diskusi soal deskripsi dan dialog dengan melihat ”The Riverman.” [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah ”Shah of Shahs”dan ”The Soccer War” karya Ryszard Kapuscinski.

SESI KESEMBILAN (26 Juni 2007)
Diskusi soal deskripsi dan dialog dengan melihat karya-karya Ryszard Kapuscinski. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: bacalah ”A Hidden Language-Dutch in Indonesia” karya M.H.J. Maier; ”Ganasnya Bahasa dan Ganasnya Kekuasaan” karya Ariel Heryanto; “Semangkin Dikangeni: Pocapan Umar Kayak dalam KR” karya Jennifer Lindsay; serta ”Bahasa Jurnalistik Indonesia” karya Goenawan Mohamad.

SESI KESEPULUH (3 Juli 2007)
Diskusi soal bahasa dan bangsa serta bagaimana melihat isu itu dalam kepenulisan di Jakarta. Bahasa adalah alat utama seorang penulis. Namun bahasa juga alat utama negara Indonesia untuk menguasai cara kita berpikir. Dibahas juga soal teknik penulisan [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah ”The Silent Season of A Hero” karya Gay Talese dan “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams. Lalu buatlah sebuah profil pendek, satu halaman, dari seorang tokoh dalam tulisan panjang yang sedang Anda rencanakan.

SESI KESEBELAS (10 Juli 2007)
”The Silent Season of A Hero” mengubah cara wartawan menulis sosok orang di Amerika Serikat. Cindy Adams seorang wartawati cantik yang beruntung bisa menulis autobiografi Bung Karno. Diskusi soal penulisan profil. [Budi Setiyono].

Pekerjaan rumah: bacalah oleh ”Ten Tips For Better Interview” (www.ijnet.org) dan ”The Art of the Interview” oleh Eric Nalder

SESI KEDUABELAS (17 Juli 2007)
Teknik wawancara dengan melihat teknik-teknik yang dikembangkan oleh International Center for Journalists. Peserta melakukan praktik wawancara di depan kelas dan sesudahnya menonton ”Black Hawk Down” karya Mark Bowden untuk lihat deskripsi yang berubah jadi film. [Andreas Harsono]

Pekerjaan rumah: Bacalah “Ini sebuah Kehormatan” karya Jimmy Breslin. Buatlah sebuah deskripsi pendek, satu halaman, yang menampilkan penokohan dan sudut pandang orang pertama ("saya" atau “aku” atau “kita”). Kalau masih ada waktu, bacalah “In Cold Blood” karya Truman Capote. Ini karya klasik dari The New Yorker.

SESI KETIGABELAS (24 Juli 2007)
Diskusi soal penokohan dan sudut pandang; bagaimana mengembangkan tokoh serta menampilkan cerita dari suatu sudut pandang. [Budi Setiyono]

Pekerjaan rumah: Bacalah bagian-bagian dari kumpulan esai dalam buku Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat karya Fadjroel Rachman.

SESI TAMBAHAN (31 Juli 2007)
Diskusi dengan Fadjroel Rachman, seorang aktivis, penyair serta penulis esai. Fadjroel seorang pembicara yang sangat menarik. Dia menguasai banyak pepatah dan bacaannya luas. Kesukaannya, politik, kebangsaan, sekulerisme dan pernah jadi murid Soedjatmoko dari Partai Sosialis Indonesia.

Pekerjaan rumah: Persiapkan liputan panjang Anda.

SESI KEEMPATBELAS (7 Agustus 2007)
Diskusi perkembangan liputan panjang. [Andreas Harsono]

SESI KELIMABELAS (14 Agustus 2007)
Diskusi perkembangan liputan panjang. [Budi Setiyono]

SESI KEENAMBELAS (21 Agustus 2007)
Warna sari, tanya jawab. Penutupan. [Andreas Harsono dan Budi Setiyono]

Sabtu, 28 April 2007

Bagaimana menulis resensi buku?


Dear Wenny,

Secara umum, menulis resensi punya dua bagian. Pertama, ia menceritakan isi dari buku yang dibahasnya itu. Ini penting karena tidak semua orang membaca buku yang dibahas. Bahkan cukup banyak orang mengandalkan resensi karena memang tak mau atau tak bisa membaca buku aslinya.

Saya pernah tinggal di Boston dan New York. Kalau Anda tinggal disana dan berlangganan harian setempat, misalnya Boston Globe dan The New York Times, setiap akhir pekan kedua harian itu menerbitkan satu seksi khusus tentang resensi buku. Tebalnya bisa 12-24 halaman (termasuk iklan dari industri buku). Tentu ini juga memiliki wawancara dengan para penulis.

Bahkan kalau masih belum puas, ada juga The New York Review of Books, sebuah majalah dwi mingguan yang isinya khusus resensi buku dan analisis. Goenawan Mohamad dari Jakarta berlangganan tabloid ini. Goenawan setiap minggu harus menulis kolom di majalah Tempo. Ia butuh banyak buku. Namun dia belum tentu bisa mendapatkan buku-buku mutakhir yang ingin dibacanya (harus beli di luar negeri) atau waktunya tak cukup, maka dia membaca The New York Review of Books. Majalah Esquire menyebutnya, ".. the premier literary-intellectual magazine in the English language." Pada 2003, sirkulasinya mencapai 125,000.

Kedua, resensi ini juga sebaiknya dilengkapi perbandingan dengan karya lain. Artinya, seseorang yang menulis resensi buku baru soal nasionalisme misalnya, seyogyanya dia juga tahu karya-karya klasik Benedict Anderson, Ernest Gellner, Ernest Renan, Michael Billig dan sebagainya.

Saya seringkali menemukan resensi di Jakarta ini yang ditulis tanpa tahu referensi klasik. Minggu lalu saya menggoda seorang kenalan yang menulis resensi di Koran Tempo tentang buku Mia Bustam, isteri pertama S. Soedjojono, namun tak tahu siapa Claire Holt, seorang kritikus seni rupa Indonesia modern.

Kalau bisa soal nasionalisme, topik yang sedang saya geluti, aduh, salah kaprah disini cukup parah. Kebanyakan orang disini tak membaca Benedict Anderson, yang banyak menulis soal Indonesia, maupun karya-karya orang Indonesia sendiri soal nasionalisme, dari Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir hingga Goenawan Mohamad.

Kelebihan The New York Review of Books terletak pada analisis ini. Banyak orang yang mengkritik buku menulis dalam tabloid ini. Saya kenal beberapa kontributor majalah ini, antara lain, Margaret Scott serta Clifford Geertz. Scott mantan redaktur halaman kebudayaan majalah Far Eastern Economic Review di Hongkong. Geertz seorang anthropolog yang menulis karya klasik The Religion of Java serta Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia, Negara: The Theater State in Nineteenth Century Bali dan Works and Lives: The Anthropologist As Author. Para penulis resensi ini tak jarang menelusuri tempat-tempat dimana sebuah buku ditulis atau bahan reportase, guna menulis kritik terhadap buku bersangkutan.

Saya kira dua unsur itulah yang diperlukan dalam menulis sebuah resensi. Saya pernah bikin resensi panjang tentang beberapa buku soal majalah The New Yorker. Anda bisa baca dalam buku hitam terbitan Pantau itu. Terima kasih.

Andreas Harsono

Selasa, 24 April 2007

tepat padat

Seorang rekan kantor yang sudah malang-melintang di dunia iklan dan jurnalisme Indonesia mengirim beberapa pesan singkat lewat telepon seluler. Pada suatu malam kelam. Di tengah-tengah tenggat yang merayap.


  • 1) Mulailah menulis dengan sebuah obituari
    Menantang Anda untuk menulis sepadat mungkin. Berperanglah dengan kata-kata klise. Sarikan hal penting. Nama, umur, identifikasi, waktu dan tempat kematikan, kenapa mati, prosesi penguburan, keluarga yang ditinggalkan;

  • 2) Kecelakaan dan musibah
    Membantu prinsip get it right, write it tight;

  • 3. Hukum dan kriminal
    Anda ditantang dengan akurasi, balancing dan jalannya sistem sosial.


I think it's worth trying. At least for a beginner like me..

Senin, 12 Maret 2007

Blog Narasi

Mulai saat ini segala macam tulisan teman - teman yang mengikuti kursus narasi ataupun tidak dapat kiranya bisa mengisi tulisan, foto esai, tugas akhir, tugas kursus atau liputan ke blog narasi ini. seluruh peserta ataupun anggota pantau dapat mengakses blog ini dan apabila ada yang memang bisa merubah - rubah html di blog ini sangat menarik sekali, tulisan yang masuk ke blog ini bebas aja masuk tanpa sensor ketat dari korporasi......Selamat Menulis